Kali ini gerbong kereta ekonomi Penataran dari Malang ke Blitar ramai dan sangat penuh desak. Meskipun di dalam gerbong sudah penuh dengan penumpang, masih banyak penumpang yang masih di luar ingin masuk secara paksa. Hingga suasana di dalam gerbong makin sesak.
Saat itu, aku hanya menunggu terlebih dahulu supaya keadaan gerbong itu sepi. Heran. Padahal aku selalu ikut berjubel diantara kerumunan penumpang agar dapat segera memasuki gerbong. Berjubel dengan penumpang lain dan tidak mau kalah. Tetapi kali ini aku mengalah. Menunggu penumpang-penumpang yang berdesakan itu masuk terlebih dahulu di tempat duduk yang disediakan. Dari sana, aku melihat seorang nenek berjilbab hijau akan menaiki kereta itu. Sangat kasihan sekali karena dia harus berjuang diantara penumpang-penumpang lain yang hendak masuk ke dalam gerbong. Barang bawaanya pun banyak. Tiba-tiba timbul rasa iba dari diriku. Terbesit di otakku untuk menolongnya. Aku beranjak dari tempat dudukku dan bejalan mendekati nenek tua itu.
“Nek, nenek mau ke mana?” tanyaku kepada nenek itu.
“Mau ke Surabaya, nak... ramai sekali, ya kereta hari ini...” kata Nenek itu. katanya saat menjawab pertanyaanku.
“Ke Surabaya? Bukannya Surabaya keretanya dari arah Barat ke Timur? Ini kereta ke Blitar, Nek.. Meski tujuan akhirnya juga Surabaya, tapi terlalu jauh kan kalau lewat sana. Lebih baik, nenek ke Surabaya naik kereta Penataran saja yang ke arah timur sana, loh Nek..” Kataku kepada Nenek itu sembari menunjuk ke arah timur.
“Begitu, ya nak.. lha terus ini bagaimana?’
“Apanya yang ini, Nek?”
“Apa ini namanya, Nenek lupa.” kata Nenek sambil menunjukkan kertas tebal berwarna hijau, berbentuk kotak kecil, dengan ukuran 3 X 2 cm bertuliskan malang-blitar-kertosono.
“Oh, Tiket, ya!” ucapku dengan nada sedikit menebak.
“Iya, nak...”
“Baiklah Nek, kalau begitu tunggu saya di sini, ya.. saya mau menukarkan tiket Nenek dulu dengan tiket kereta Penataran yang ke Surabaya.”
“Iya, nak terima kasih...”
Aku segera pergi ke loket untuk menukarkan tiket nenek itu. Waktu sampai ke loket, kulihat loket kereta yang ke Surabaya antri panjang sekali. Kebanyakan adalah mahasiswa yang pulang kampung. Penumpang kali ini memang benar-benar banyak karena besok adalah hari besar 10 Dzulhijah. Hari besar itu tepat di hari sebelum hari bebas kuliah. Jadi, hari liburnya berhimpitan dan merupakan hari libur terpanjang di bulan ini.
Cepat-cepat aku antri di urutan belakang, berdesak-desakan dengan calon penumpang lain. Penuh sesak. Ketika aku sedang antri di urutan tengah, aku teringat bahwa aku telah melupakan sesuatu. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Dan baru mengingatnya setelah suara bel kereta Penataran jurusan Blitar berbunyi, menandakan akan berangkat. Aku baru ingat bahwa aku sedang menunggu jalan masuk ke dalam gerbong kereta Penataran jurusan Blitar benar-benar sepi.
“Sial!!” kataku dalam hati karena waktu dan tiketku jadi terbuang percuma.
Setelah membeli tiket untuk Nenek itu, aku menukarkan tiket Penataranku dengan tiket kereta Mataremaja.Kereta ekonomi Malang-Jakarta yang berakhir di Stasiun Pasar Senen Jakarta. Cukup jauh perbedaan harga kereta api Penataran dengan kereta api Mataremaja sehingga aku harus merogoh kocek lebih dalam. Tapi tidak mengapa. Mataremaja melewati Blitar. Jadi waktuku tidak terbuang terlalu banyak di stasiun. Sekarang, pukul 13.45, sementara kereta Mataremaja berangkat pukul 15.00. Sepertinya akan telihat cukup lama jika aku menunggu di stasiun. Dan ini benar-benar mimpi buruk untukku.
Saat aku kembali, peron masih tetap terlihat ramai. Bola mataku berputar mencari kerudung hijau, kerudung yang dipakai nenek yang kubelikan tiket. Dari arah belakang, aku menemukan Nenek berkerudung hijau itu sedang duduk dan segera menuju ke sana.
“Maaf, nek.. Menunggu lama.” Kataku kepada Nenek berkerudung hijau itu.
Ketika menoleh ternyata dia bukan Nenek. Tapi seorang mahasiswa yang akan pulang kampung, sama sepertiku. Aku salah sangka, karena dia memakai kerudung hijau yang sama persis dengan kerudung nenek..
“Maaf, Mbak.. salah orang.” Kataku kepadanya.
“Iya, nggak pa pa, Mbak.” Jawabnya sambil senyam senyum.
Bola mataku kembali berkelana mencari di mana nenek itu berada. Dan aku berhasil menemukan Nenek berkerudung hijau itu sedang berdiri di depan toilet nun jauh di ujung sana. Aku segera pergi menuju Nenek itu berdiri. Setelah dekat dan kupastikan bahwa dia benar-benar Nenek, aku pun mendekatinya untuk memberikan tiket nenek yang telah kutukarkan tadi.
“Maaf Nek, menunggu lama.” Kataku kepada Nenek itu.
“Oh tidak apa-apa, Nak..” kata nenek itu kepadaku.
“Ini nek, tiketnya... nanti keretanya berangkat jam 2, 10 menit lagi, nek.. tapi sepertinya keretanya terlambat, deh Nek..!”
“Iya, nak terima kasih..”
“Ngomong-ngomong, Nenek ke sini sendirian, ya.. keluarga nenek dimana kok tidak mengantarkan???”
Tiba-tiba nenek itu terlihat bersedih dan mengatakan sesuatu padaku, “Nenek tidak punya keluarga, nak...”
“Ah, tidak mungkinlah, masak sih Nenek tidak punya keluarga?” Kataku setengah tidak percaya.
Nenek itu terdiam beberapa saat, sambil menitikkan air mata. Aku bingung harus berbuat apa, tidak ingin disalahkan karena telah membuat nenek-nenek menangis, huhuhu.
“Sebenarnya nenek kabur dari rumah anak nenek, nak...”
“Hah, KABUR?!” kataku agak sedikit keras sementara nenek itu menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya menandakan meminta jangan keras-keras berkata ‘kabur’.
“Mengapa bisa begitu, Nek... kenapa kabur dari rumah anak Nenek?” tanyaku lagi kepada nenek setengah menginterogasi.
“Nenek sudah tidak dibutuhkan lagi di sana, Nak... nenek sudah tidak dianggap lagi sama anak, menantu, dan juga cucu nenek...” Jawab nenek itu tadi sembari mengusap air matanya dengan sapu tangan biru.
“Oh, Nenek yang sabar ya.. semua orang pasti mengalami cobaan kok. Saya yakin mereka itu sebenarnya masih sayang bahkan sangat menyayangi nenek..” Kataku setengah menghibur nenek sambil mengelus pundaknya.
“Iya, terima kasih nak.. telah membuat nenek sedikit merasa tenang.”
“Terus nenek mau pergi ke mana?”
“Nenek mau pergi ke rumah saudara nenek di Surabaya, nak.”
Tiba-tiba petugas kereta api mengumumkan bahwa kereta api jurusan Surabaya akan segera tiba. Aku membantu Nenek itu berdiri untuk bersiap-siap masuk ke gerbong kereta. Suara bel kereta terdengar dari arah kejauhan, dari sana juga terlihat cahaya lampu menandakan kereta itu segera sampai.
Petugas-petugas kereta api dengan peluitnya, menertibkan para calon penumpang untuk berdiri di belakang garis putih, supaya tidak terjadi hal-hal yang tida diinginkan. Kereta datang dengan kecepatan yang agak lambat namun masih menyisakan angin cukup kencang di setiap lajunya melewati diriku dan Nenek. Setelah kereta berhenti, aku membantu nenek naik ke dalam gerbong. Ketika Nenek akan naik ke dalam gerbong, dari arah kejauhan, terdengar ada suara laki-laki berteriak memanggil ‘Ibu’. Aku dan Nenek menoleh ke arah laki-laki itu. Nenek yang mengetahui anaknya menyusul, cepat-cepat masuk ke dalam kereta. Karena laki-laki itu adalah anak Nenek.
“Nek, kenapa tergesa-gesa?” Tanyaku kepada Nenek.
“Sudahlah, nak, tolong bantu nenek bawakan tas nenek sampai ke dalam saja.” Kata nenek itu kepadaku.
“Iya, Nek!”
Suara laki-laki itu makin keras memanggil-manggil ‘ibu’ sambil mencari seseorang di setiap kaca jendela kereta Penataran yang akan berangkat menuju Surabaya itu di gerbong ujung belakang sana. Nenek sudah di dalam kereta gerbong depan. Barang-barangnya di dalam kereta semua. Bel kereta berbunyi menandakan kereta akan berangkat. Kereta pun bergerak berangkat menuju ke Surabaya. Saat kereta mulai berangkat, kulihat bayangan nenek dari luar jendela melambaikan tangannya padaku. Aku juga melambaikan tangan kepadanya.
Saat aku melambaikan tangan, aku kaget, laki-laki yang mencari-cari ibunya tadi sudah ada disampingku dan bertanya kepadaku. Ternyata dari tadi laki-laki itu, bertanya-tanya setiap orang yang ada di stasiun mencari keberadaan ibunya, dan sekarang giliranku yang ditanya.
“Permisi Mbak, apakah Mbak melihat seorang Nenek berusia sekitar 60 tahunan, memakai kerudung hijau dan bawaannya banyak?” Tanyanya kepadaku sambil menunjukkan foto orang yang dicarinya.
Mataku terbelalak melihat nenek yang ada di foto itu yang ternyata adalah nenek berkerudung hijau yang baru saja melambaikan tangan kepadaku.
“Iya, Pak.. Saya melihatnya. Nenek itu baru saja naik kereta yang baru berangkat ini tadi ke Surabaya.” Kataku
“Oh, tidak!! Aku terlambat.. Ibu maafkan aku yang tidak mempedulikanmu. Selama ini aku hanya sibuk dengan urusan kantor, tidak sempat memperhatikanmu. Maafkan aku, ibu...” katanya dengan penuh penyesalan.
“Tenang, Pak.. Ibunya Bapak pergi ke Surabaya ke rumah saudaranya, kalau mau Bapak bisa menyusulnya, Bapak tentu mengetahui siapa saudara, Nenek dan di mana alamat saudara Nenek, kan??” kataku kepada Bapak itu.
“Oh iya. Iya, saya mengetahui saudara Ibu saya di sana. Baik, saya akan menyusulnya ke sana sekarang juga. Terima kasih, Mbak.”
Laki-laki itu pergi meninggalkan stasiun untuk segera menyusul ibunya. Stasiun kembali ramai oleh penumpang Mataremaja setelah keberangkatan kereta Penataran yang akan ke Surabaya tadi. Sekarang pukul 14.30. Kereta Mataremaja sudah dipindah di jalur satu. Aku segera naik ke dalam gerbong kereta Mataremaja. Tidak berdesakan. dan segera duduk menunggu kereta berangkat.
***
No comments:
Post a Comment