Tuesday 2 June 2020

Memilih Calon Suami

Memiliki suami adalah impian wanita pada umumnya. Wanita sudah pasti membutuhkan sandaran di kala dia duka, teman ketika dia bahagia. Di samping itu, wanita dikatakan tidak sepenuhnya wanita jika dia tidak mempunyai anak, dan mempunyai anak pasti membutuhkan suami. Yang di damba wanita dari suaminya adalah perhatian, kasih sayangnya, nasehatnya, perlindungannya, serta tak ketinggalan nafkahnya baik lahir maupun batin. Tetapi suami yang di damba wanita seperti itu hanyalah 10% dari 100% suami di dunia ini. Mengapa? Karena suami adalah manusia juga dan tidak ada manusia yang sempurna. Kalau tidak ada yang sempurna tadi kok dikatakan ada 10% suami yang sikapnya baik kepada istrinya? Well itu yang nyaris sempurna ya.. karena kesempurnaan itu sesungguhnya milik Sang Pencipta. 😇🙏


Kebanyakan wanita sebelum menikah ada fase saling mengenal dengan calon suaminya. Di fase itu, calon suami banyak yang jaim alias jaga image pada calon wanitanya. Dia ingin menunjukkan semua pendapat-pendapatnya yang hebat tentang  apapun di setiap pembicaraan dengan calon wanitanya supaya calon wanitanya makin kagum padanya. Di sela pertemuan dan mengobrol di fase perkenalan, tentu calon suami tidak mungkin menceritakan kalau dia itu malas, suka tidur, kadang pesimis dan sebagainya kepada calon wanitanya. Padahal semua wanita tahu kalau setiap laki-laki itu punya bakat malas dan pemberontak. Entah tahu dari saudara laki-lakinya, teman laki-laki di sekolahnya, cerita dari orang-orang dan sebagainya. Akan tetapi wanita itu akan berpendapat bahwa calon suami yang sedang dikenalnya itu berbeda dari yang lainnya dan menganggap laki-lakinya itu rajin dari cara memperlakukannya atau dari pendapat-pendapatnya yang hebat. Padahal sebenarnya rajin atau tidaknya/pintar atau tidaknya suami itu akan terlihat setelah menikah.🤭 Makanya hanya mengobrol dengan calon suami saja tidak cukup saat berkenalan dengan dia. Kita butuh informasi dari teman sekolahnya mungkin, atau dari teman kerjanya..

Friday 29 May 2020

Makna Filosofis dan Kisah di Balik Aksara Jawa Hanacaraka

Legenda mengutip aksara Hanacaraka terlahir dari cerita pemuda sakti bernama Ajisaka yang pergi mengembara ke Kerajaan Medhangkamulan. Kerajaan ini memiliki raja bernama Dewata Cengkar yang sangat rakus dan senang menerima daging manusia. Rakyatnya banyak yang menentang dengan kebiasaan rajanya tersebut. Demi menghentikan kebiasaan sang raja, Ajisaka pun bertolak ke sana.

Ajisaka memiliki dua orang abdi yang sangat setia bernama Dora dan Sembada. Suatu saat, Ajisaka pergi mengembara ke Kerajaan Medhangkamulan dan mengajak Dora untuk menemaninya. Sementara itu, Sembada diperintah untuk tinggal di Pulau Majethi karena harus mengurus keris pusaka milik Ajisaka agar tidak jatuh ke tangan orang lain selain miliknya.

Sesampainya di Kerajaan Medhangkamulan, Ajisaka segera menghadap Prabu Dewata Cengkar untuk meminta sebidang tanah seukuran kain surban diterima. Meminta ini menjadi syarat Ajisaka menerima menjadi santapan sang Raja asalkan ia mendapatkan tanah yang ia mau. Akhirnya, Prabu Dewata Cengkat mengamini meminta Ajisaka. Ia mengukur tanah menggunakan kain surban Ajisaka, namun tak memiliki kain surban ini semakin lama semakin meluas untuk membuat Prabu Dewata Cengkar mundur dan terus mundur hingga memperbaiki jurang pantai selatan.

Sayang sekali Prabu Dewata Cengkar tidak bisa menyelamatkan diri dan mati terjatuh dari jurang. Sejak saat itu Ajisaka diangkat menjadi raja di Kerajaan Medhangkamulan.

Lantas Ajisaka teringat dengan pusakanya yang ditinggal di Pulau Majethi. Ia pun mengutus Dora untuk mengambilnya dari Sembada. Sesampainya di Pulau Majethi, Dora segera meminta pusaka Ajisaka yang dijaga oleh Sembada, namun rekannya itu tidak mau memberikan pusaka karena teringat dengan permintaan Ajisaka. Sementara itu, Dora juga bersikukuh tentang apa yang diminta adalah perintah dari Ajisaka. Merekapun berdebat dan bergelut. Sayang sekali, akhirnya akhirnya meninggal.

Mendengar kedua abdinya tewas, Ajisaka pun menyesali apa yang telah pulih. Lantas untuk mengenang, ia melantunkan pantun Hanacaraka yang penuh makna:

Ha Na Ca Ra Ka 

Ada sebuah kisah

Da Ta Sa Wa La

Terjadi suatu pertarungan

Pa Dha Ja Ya Nya

Mereka sama-sama sakti

Ma Ga Ba Tha Nga

Dan akhirnya semuanya mati

***

Dari kisah-kisah tersebut, dapat ditarik simpulan dari aksara Hanacaraka memiliki makna filosofi yang bisa dipaparkan sebagai berikut:

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti  adalah "utusan" yaitu utusan yang hidup, terdiri dari yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasad manusia. Hal ini menunjukkan adanya pencipta (Tuhan), ciptaan (manusia), dan tugas yang diberikan Tuhan kepada manusia.

Da-Ta-Sa-Wa-La  berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan "data" atau diizinkan mengeluarkan "sawala" atau mengelak. Dalam hidup ini manusia harus melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya  menunjukkan menyatunya zat pemberi hidup (Ilahi) dengan yang diberi hidup (pembuat). Makna filosofisnya, setiap batin manusia pasti sesuai dengan apa yang diperbuatnya.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga  berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang diminta oleh Tuhan. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, sesuai manusia berhak untuk mewiradat, berjuang untuk menanggulanginya.

https://islamindonesia.id/budaya/makna-filosofis-dan-kisah-di-balik-aksara-jawa-hanacaraka.htm