Thursday 21 March 2013

Payung Cokelat Mantan Calon Pacar


Payung Cokelat Mantan Calon Pacar

            Dewi adalah seorang mahasiswi tingkat tiga. Selain kuliah dia juga bekerja sebagai ticket seller di bioskop. Saat itu, mata kuliahnya masih belum terlalu padat sehingga dia memutuskan untuk bekerja part time. Sebagai mahasiswi yang bekerja, Dewi harus pandai mengatur waktunya antara kuliah dan bekerja. Hebatnya, gadis bermata lentik itu mampu menjalankan keduanya. Di kampus dia memang dikenal sebagai mahasiswi yang rajin, disiplin, dan aktif dalam berbagai kegiatan perkuliahan.
            Pagi itu adalah hari Senin yang gelap. Mendung menutupi matahari dan sinarnya. Suara petir terdengar lirih pagi itu. Tak lama kemudian, gerimis pun  jatuh bergiliran ke tanah. Burung-burung yang tadinya bertengger di ranting pohon terbang entah ke mana setelah percikan air mengenai sayapnya. Senin pagi yang bukan seperti biasa.
            “Dewiiiiii‼! Kamu masuk kuliah, nggak?? Gerimis nih… enaknya bolos aja yuk!” Tanya Nova kepada Dewi setengah berteriak dari arah dapur.
            “Apaaa???  Bolos?! Nggak ah.. aku masuk aja.. ada mata kuliahnya Pak Bima. Mau ngumpulin tugas, gitu…! Kan tugasku udah selesai. Punyamu udah selesai belum??” Jawab Dewi dari kamar mandi.
            “Ehmm.. beluum, hehehe! Itulah salah satu faktor yang membuat aku ngajakin kamu bolos… Ee.. ternyata nggak mau. Kamu sekali-sekali bolos kayak aku, dong Wi! Nggak capek apa masuk kuliah terus? Sambil kerja pula.” Kata Nova sambil mencuci beras di panci magic com.
            “Dasar, Nova ndut!  Enggak, tuh.. Biasa aja.. semuanya menyenangkan kok. Daripada berdiam diri coba, malah strees aku ntar. Emang kamu mau bertanggung jawab apa kalau aku stres?!” kata Dewi sambil membuka pintu kamar mandi, menandakan ia sudah selesai mandi.
            “Ya sudah,  ngikut masuk, duehh‼.. aku mandi dulu kalau begitcu. Tapi aku masukkin panci dulu ke magic com, ni! Nova terburu-buru memasukkan panci yang sudah diisi beras untuk ditanak di magic com.
            “Ya cepetan. Udah jam segini, nueh‼” desak Dewi kepada Nova supaya Nova melakukan persiapan ekstra cepat. Tentu dengan tujuan agar dia tidak terlambat kuliah. Karena gadis berambut lurus itu tidak pernah terlambat, selama kuliah mulai dari semester pertama sampai sekarang.
            Dewi sudah siap untuk berangkat ke kampus. Rambut lurusnya diikat rapi, dengan memakai rok jeans panjang dan baju berkerah berwarna cokelat dia nampak terlihat kalem. Matanya yang lentik, menjadi semakin lentik dengan polesan maskara. Dewi selalu berpenampilan sopan dan rapi di berbagai kegiatannya. Dia ingin selalu berpenampilan perfect. Dan dia pun telah berhasil mendapatkan imej perfect  bagi teman-temannya.
Meskipun berpenampilan cantik dan menarik, Dewi tidak memiliki seseorang yang dikasihi. Sebenarnya Dewi sempat memikirkan hal itu. Ibu dan teman-teman Dewi sering menasihati Dewi untuk segera mencari teman dekat yang berlawanan jenis. Apalagi Nova teman kuliah sekaligus teman kostnya yang selalu menanyakan siapa pacar Dewi. Namun, hal itu segera terlupakan karena gadis manis itu terlalu sibuk dengan segala kegiatan dan pekerjaannya. Dengan menyibukkan diri untuk bekerja, secara otomatis dia dapat melupakan kenangan buruknya dari cinta segitiga yang dialaminya sewaktu SMA. Saat itu dia mengalah dan membiarkan sahabatnya yang mendapatkan orang yang dicintainya. Namun, setelah itu Dewi menyesal. Hal itu dianggapnya sebagai kesalahan terbesar di dalam hidupnya yang pernah dilakukannya sampai sekarang.
Bersama Nova yang berbadan subur itu, Dewi berjalan menuju kampus. Disertai dengan payung berwarna cokelat pula, penampilan gadis semampai itu nampak terlihat serasi dengan pakaian yang dikenakannya. Sesampainya di kelas, Dewi segera melipat payung kesayangannya. Dia menaruhnya ke dalam loker untuk dikunci, seolah-olah dia tidak ingin kehilangan payung itu. Belum ada siapa pun yang datang. Hanya ada mereka berdua. Terpaksa Dewi terjebak dalam keadaan yang tidak disenanginya, yaitu menunggu. Tiba-tiba handphone Dewi bergetar tiga kali menandakan ada SMS masuk. Dibukanya handphone itu, ada beberapa kata yang tersusun menjadi kalimat di dalamnya dari nomer yang tak dikenal. Kalimat itu berbunyi:
Kutunggu kamu di luar.
            “Dari siapa sih..?” tanya Nova kepada Dewi.
            “Nggak tau, nih.. Tiba-tiba aja seenaknya nyuruh-nyuruh nunggu di luar. Padahal aku paling benci di suruh-suruh.” Jawab Dewi sedikit sewot.
            “Coba sini, mana liat sms-nya kok jawabannya nggak mengenakkan gitu.”
Kata Nova sambil mendekati handphone yang dipegang Dewi.
            “Yaelah, buk! Ini mah bukan nyuruh. Mana kalimat menyuruhnya?! nggak ada gitu, lho. Gitu aja kuq udah sewot.” Kata Nova lagi.
            “Iya, tapi secara tidak langsung, aku disuruh keluar. Padahal, kamu tahu sendiri kan kalau kita lagi ada jam kuliah. Ntar kalau dosennya datang waktu aku di luar gimana, hayo?” timpal Dewi.
            “Ya tidak apa-apa, to. Toh kamu jadi tahu siapa yang minta ditemuin. Emang dasar Miss Perfect yang paling nggak mau rugi waktu!”
            “Berisik, biarin! Salah sendiri nyuruh-nyuruh keluar di waktu yang tidak tepat.”
            Tiba-tiba handphone Dewi bergetar lagi sebanyak tiga kali menandakan ada sms yang masuk.
Kutunggu kamu di luar. Bayu
            “Bruk!” Dewi menjatuhkan handphone-nya. Tangannya lemas sampai-sampai tidak kuat memegang telepon genggamnya. Dia berusaha kembali mengambil handphonenya dengan tangan gemetaran.
            “Siapa, Wi? Ada apa?” Tanya Nova yang begitu terkejut dengan tingkah laku Dewi. Baru kali ini dia melihat sahabatnya itu panik.
            “Bayu. Apa benar dia Bayu? Kenapa dia bisa tahu aku di sini bukannya dia melanjutkan sekolahnya di luar negeri?” mulut Dewi menggumam sendiri.
            “Apa? Bayu? Siapa sih Bayu kok kamu nggak pernah cerita?” kata Nova semakin penasaran.
            “Oh, Sorry Nov, hehehe! Bayu itu temenku SMA. Aku dulu sempat naksir sama Dia. Dia juga naksir aku. Tapi aku nggak bisa jadian sama dia. Karena Riska, teman baikku sewaktu SMA juga naksir dia. Setiap hari Riska selalu membicarakan Bayu, Bayu dan Bayu. Sampai capek aku dengerinnya. Selain aku sama Riska, banyak juga sih yang ngefans sama dia, karena udah ganteng, juara kelas pula. Suatu hari, di Senin pagi yang gerimis kayak gini, Bayu menyatakan cintanya ke aku. Aku disuruh menjawab dengan pilihan. Jika aku menerima cintanya, aku harus memilih bunga dan jika aku menolak cintanya aku harus memilih payung...”
            “Jangan katakan kamu memilih payung, Wi!” Nova memotong pembicaraan Dewi.
            “Payung cokelat. Ya, aku memilih itu. Tadinya aku senang dan hampir memilih mawar. Tapi saat akan mengambil bunga itu, aku teringat Riska. Aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan Riska jika dia tahu aku jadian dengan orang yang kelihatannya amat dicintainya. Hatinya mungkin akan terluka. Dan aku nggak tega sahabatku sendiri terluka karena aku, sahabat baiknya jadian sama orang yang selalu jadi topik pembicaraanya. Akhirnya aku memilih payung itu, dan mengatakan bahwa Riska lebih pantas untuknya. Lalu aku pergi meninggalkannya dalam gerimis.” Kata Dewi.
            “Dan itu yang membuat kamu nggak mau pacaran selama ini, ya kan? Jujur deh kamu tuh masih cinta kan sama Bayu.?” Desak Nova.
            “Nggak tau, deh.. aku bingung.”
            “Tunggu apalagi ayo temui dia kesempatan nggak datang dua kali, lho.. kelihatannya dia mau nembak kamu lagi deh,  siapa tahu dia putus karena nggak cocok sama Riska dan kamulah orang yang benar-benar dicintainya. Ngapain coba jauh-jauh ke luar negeri ke sini nemuin kamu!”
            “Dosennya...?”
            “Sudahlah nanti biar aku yang urus.”
Pagi itu, kedatangan gerimis terlihat kerap. Turun perlahan-lahan ke bumi seperti salju. Terlihat indah dan cantik apabila seseorang mau sedikit menengadah saat melihatnya. Namun, menyisakan hawa dingin yang cukup mampu membuat tubuh menggigil. Tampak di depan Dewi seorang pemuda yang tinggi, dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“Hai..! kau tidak berubah, ya.. tetap ayu dengan penampilanmu.”
“Makasih. Gimana kabarmu dengan Riska?” Tanya Dewi ingin tahu.
“Kau benar Riska anaknya baik dan perhatian sama aku. Aku sedikit-demi sedikit bisa belajar menyukainya seiring berjalannya waktu.”
“Oh, ya? Ke mana dia sekarang?”
“Dia menungguku di halte. Memintaku datang padamu untuk meminjam payung. Aku pinjam payungnya, ya hehehehe!”
“GEDUBRAG!!!” Dewi terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangannya waktu berdiri.
            “Kenapa, Wi?” Tanya Bayu
            “Nggak apa-apa kok.. cuman hilang keseimbangan aja. Hehehehehehe! Bentar ya, aku ambilin dulu payungnya.”
            Dewi segera mengambil payung cokelatnya sambil menyalahkan Nova yang mengira Bayu akan menyatakan cintanya kembali kepada Dewi. Mendengar cerita yang sebenarnya bahwa Bayu menemui Dewi hanya untuk meminjam payung, pecahlah tawa Nova.
            “Ketawa melulu!” Bisa diem nggak?”
            Sambil tertawa Nova menjawab, “Habis lucu sih, kirain si Bayu mau nembak kamu eh ternyata mau pinjam payung!” Merasa sebal dengan tingkah Nova, Dewi segera bergegas meninggalkan Nova yang sedang tertawa terpingkal-pingkal. Sementara Nova tidak mengetahui kalau Dewi sudah pergi meninggalkannya karena asyik menertawakan cerita tadi. Mahasiswa yang lain mulai berdatangan. Mereka menatap sinis Nova yang sedang tertawa sendiri. “Jangan melakukan kontak mata denganku!” Kata salah seorang mahasiswa kepada Nova secara tiba-tiba yang menghentikan tawa Nova. Sadar bahwa dia ternyata tertawa sendiri, gadis tambun itu segera berlari dari depan loker masuk ke kelas karena malu .
            Dewi sudah berada di depan gedung perkuliahan. Di sana, Bayu sudah menunggu payung cokelat kesayangan Dewi. Meski payung itu merupakan pengalaman buruk ketika akan menjalin hubungan dengan pemuda yang dikasihinya, Dewi tetap menyukai payung itu karena memberikan kenangan tersendiri baginya.
            “Ini payungnya.” kata Dewi
            “Oh iya… Maaf telah merepotkanmu Wi.”
            “Katanya kamu kuliah di Australia, tetapi kenapa kok masih berada di sini?” Tanya Dewi ingin tahu.
            “Kakakku sebentar lagi akan menikah dan Mama memintaku untuk pulang selama 2 minggu. Dalam waktu singkat ini, aku juga ingin menemui teman-teman terbaikku termasuk kamu yang sudah membuat aku dan Riska jadian.” Jawab Bayu sambil menatap Dewi. Jawaban itu membuat hati Dewi sedih, tapi untunglah Dewi dapat menguasai rasa sedihnya, hingga tetap nampak tenang di hadapan Bayu.
            “Oh, begitu ya.. semoga kalian langgeng ya.” Kata Dewi dengan nada datar.
            “Seandainya kamu dulu memilih bunga, pasti tidak begini ceritanya.” Kata Bayu dengan nada datar pula.
            “…..” Keduanya terdiam sejenak.
            “Maaf Dewi, mungkin kamu berpikir betapa lancangnya aku, ke sini meminta bantuanmu hanya untuk meminjam sebuah payung. Ternyata payung yang kamu berikan padaku adalah payung cokelat yang pernah kamu gunakan untuk menolakku. Kamu selalu membawa payung ini ketika hujan kan? Apakah ini berarti kamu menyesal karena pernah menolakku?”
            Dewi hanya terdiam.
            “Aku tahu kita dulu pernah saling menyukai. Aku tahu kamu menyukaiku karena seseorang mengatakannya kepadaku.”
            “Siapa?” Tanya Dewi penasaran.
            “Riska, ya Riska… sahabatmu sendiri. Pada liburan semester lalu, Riska ke rumahmu. Kata ibumu, kamu masih keluar membeli sesuatu, kemudian beliau menawarkan Riska untuk menunggu di kamarmu. Di kamarmu, tidak sengaja dia membaca buku yang tergeletak terbuka di meja belajarmu. Dia kaget setelah mengetahui isinya yaitu tentang isi hatimu terhadapku bahkan sebelum Riska mengenalku, kamu sudah menyukaiku. Apalagi saat membaca moment ketika aku menyatakan perasaanku kepadamu. Di sana kamu menuliskan bahwa kamu mengalah untuk Riska. Dia merasa sangat bersalah kepadamu dan segera berpamitan kepada ibumu, karena tidak kuasa menahan air matanya. Sekarang dia memintaku ke sini untuk menemuimu, menukarkan payung ini dengan bunga dariku.
            “Apa maksudmu menukarkan payung ini dengan bunga?”
            “Aku sekali lagi ingin menyatakan perasaanku padamu dengan bunga ini. Apakah kamu bersedia menerima bunga ini kembali?”
            “Bagaimana dengan Riska?”
            “Dia tidak apa-apa, malahan dia yang memintaku untuk melakukan semua ini.
            Dewi hanya termangu melihat kejadian yang pernah dialaminya terulang kembali. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Apakah dia harus menerima atau menolaknya. Sebenarnya Dewi juga masih menyukai Bayu, tetapi dia tidak ingin ada hati yang terluka dalam kisah cintanya. Terutama yang terluka sahabat baiknya sendiri, Riska. Dalam lamunannya dia melihat sosok sahabatnya itu di halte depan kampusnya. Nampaknya sosok itu tengah duduk murung, sesekali menengadah seolah menahan air matanya agar tidak tumpah.
            “Sebelum menjawab pertanyaanmu, bolehkah ku tahu perasaanmu saat ini?”
            “Boleh.”
            “Selama ini kamu memiliki hubungan lebih dari teman dengan Riska, setiap waktu tentu saling berkomunikasi menanyakan kabar, apakah itu tidak mengubah perasaanmu kepadaku?”
“Tidak. Hal itu tidak mengubah perasaanku kepadamu, Wi. Perasaanku ke kamu masih sama seperti yang dulu.”
“Benarkah? Apakah kamu tidak ingat bagaimana sikap Riska ke kamu saat kamu ada masalah? Tidakkah kamu ingat, dia selalu memberikan saran yang pada akhirnya menjadi solusi dalam masalah-masalahmu?”
“Iya, dia benar-benar anak yang baik. Aku sebenarnya juga ragu untuk menerima permintaannya ini, tetapi aku juga ingin memilikimu, Wi…”
Dewi menghela nafas. Dalam hati dia berpikir, betapa enaknya menjadi laki-laki karena bisa mempunyai pendamping lebih dari satu. Padahal gadis berambut lurus itu sangat menghargai kesetiaan. Hal ini membuat Dewi galau. Dia ingin menerima cinta Bayu, tapi masih ada Riska di luar sana yang sedang bersedih, memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Bayu. Apalagi perasaan Bayu yang sebenarnya ragu untuk menerima permintaan Riska, yakni menyatakan cinta ke Dewi. Fenomena ini membuat Dewi yakin untuk memutuskan suatu keputusan yang cukup besar dalam hidupnya.
“Baik, kalau begitu bolehkah aku meminta payung cokelat itu kembali kepadaku? Ah sekarang masih hujan tunggu dulu sebentar!” Kata Dewi seraya masuk ke dalam gedung tempatnya kuliah. Tidak mendapati Nova di ruang loker, gadis ini segera bergegas ke dalam kelas. Di sana dia melihat Nova dan segera menariknya ke ruang loker.
“Aduh apa-apaan sih nih, tarik-tarik!” emangnya gue tali, apa ditarik-tarik?”
“Iyee, maaf,, pinjem payung,, ye nanti kuganti payung yang coraknya yang lebih bagus!” kata Dewi sambil mengambil payung hijau bergambar keropi seraya bergegas menuju depan gedung perkuliahan.
“EH, WI… WIII GUE NANTI PULANG BASAH KUYUP TANPA TU PAYUNG!!!” Teriak Nova kepada Dewi yang semakin menjauh.
“TENANG NANTI KITA SEPAYUNG BERDUA!!!” Pungkas Dewi kepada Nova semakin menjauh.
Gerimis semakin terlihat kerap, indah sekali seperti turun salju. Sinar matahari mulai nampak di antara gerimis. Memberi semangat di pagi itu.  Para mahasiswa berlalu lalang menuju kampus untuk mengikuti perkulihan dengan menggunakan payung. Yah, itulah fungsi payung, melindungi manusia dari hujan atau bahkan terik matahari.
“Ini, buat kamu, berikan payung cokelat itu kepadaku!”
“Jadi kamu kembali menolakku Wi?” Tanya Bayu.
Dewi mengangguk.
“Maafkan aku, aku dapat menerima bungamu kembali karena ada gadis yang bersedih diantara hubungan kita. Lebih baik aku mengalah. Ambilah payung ini, untuk melindungi gadis yang sedang menunggumu di halte.” Kata Dewi sambil menyerahkan payung keropi Nova.
“Baiklah jika itu maumu Wi…” Bayu sedikit kecewa. Dia menerima payung dari Dewi dan menukarkannya dengan payung cokelat penuh kenangan itu. Bayu segera membuka payung pemberian Dewi dan berjalan menuju halte. Sinar matahari kembali tertutup mendung. Sementara gerimis tetaplah kerap. Dewi tersenyum melihat gadis itu sepayung berdua dengan Bayu. Akan tetapi pemandangan itu segera tertutup oleh sebuah mobil yang masuk mendekati latar gedung perkuliahan. Tidak salah lagi itu mobilnya Pak Bima, dosen killer. Dewi segera masuk kelas untuk persiapan kuliah. Menggapai cita-citanya.

***

No comments:

Post a Comment