Payung
Cokelat Mantan Calon Pacar
Dewi adalah seorang mahasiswi
tingkat tiga. Selain kuliah dia juga bekerja sebagai ticket seller di bioskop. Saat itu, mata kuliahnya masih belum
terlalu padat sehingga dia memutuskan untuk bekerja part time. Sebagai
mahasiswi yang bekerja, Dewi harus pandai mengatur waktunya antara kuliah dan
bekerja. Hebatnya, gadis bermata lentik itu mampu menjalankan
keduanya. Di kampus dia memang dikenal sebagai mahasiswi
yang rajin, disiplin, dan aktif dalam berbagai kegiatan perkuliahan.
Pagi itu adalah hari Senin yang
gelap. Mendung menutupi matahari dan sinarnya. Suara petir terdengar lirih pagi
itu. Tak lama kemudian, gerimis pun jatuh bergiliran ke tanah. Burung-burung yang tadinya bertengger di ranting
pohon terbang entah ke mana setelah percikan air mengenai sayapnya. Senin pagi
yang bukan seperti biasa.
“Dewiiiiii‼! Kamu masuk kuliah,
nggak?? Gerimis nih… enaknya bolos aja yuk!” Tanya Nova kepada Dewi setengah
berteriak dari arah dapur.
“Apaaa??? Bolos?! Nggak ah.. aku masuk aja.. ada mata
kuliahnya Pak Bima. Mau ngumpulin tugas, gitu…! Kan tugasku udah selesai. Punyamu udah selesai belum??”
Jawab Dewi dari kamar mandi.
“Ehmm.. beluum, hehehe! Itulah salah
satu faktor yang membuat aku ngajakin kamu bolos… Ee.. ternyata nggak mau. Kamu
sekali-sekali bolos kayak aku, dong Wi! Nggak capek apa masuk kuliah terus?
Sambil kerja pula.” Kata Nova sambil mencuci beras di panci magic com.
“Dasar, Nova ndut! Enggak, tuh.. Biasa aja.. semuanya
menyenangkan kok. Daripada berdiam diri coba, malah strees aku ntar. Emang kamu
mau bertanggung jawab apa kalau aku stres?!” kata Dewi sambil membuka pintu
kamar mandi, menandakan ia sudah selesai mandi.
“Ya sudah, ngikut masuk, duehh‼.. aku mandi dulu kalau begitcu. Tapi aku
masukkin panci dulu ke magic com, ni!” Nova terburu-buru
memasukkan panci yang sudah diisi beras untuk ditanak di magic com.
“Ya cepetan. Udah jam segini, nueh‼”
desak Dewi kepada Nova supaya Nova melakukan persiapan ekstra cepat. Tentu
dengan tujuan agar dia tidak terlambat kuliah. Karena gadis berambut lurus itu tidak pernah
terlambat, selama kuliah mulai dari semester pertama sampai sekarang.
Dewi sudah siap untuk berangkat ke
kampus. Rambut lurusnya diikat rapi, dengan memakai rok jeans panjang dan baju
berkerah berwarna cokelat dia nampak terlihat kalem. Matanya yang lentik,
menjadi semakin lentik dengan polesan maskara. Dewi selalu berpenampilan sopan
dan rapi di berbagai kegiatannya. Dia ingin selalu berpenampilan perfect. Dan dia pun telah berhasil
mendapatkan imej perfect bagi teman-temannya.
Meskipun berpenampilan cantik dan menarik, Dewi tidak memiliki seseorang
yang dikasihi. Sebenarnya Dewi sempat memikirkan hal itu. Ibu dan teman-teman
Dewi sering
menasihati Dewi untuk segera mencari teman dekat yang berlawanan jenis. Apalagi
Nova teman kuliah sekaligus teman kostnya yang selalu menanyakan siapa pacar
Dewi. Namun, hal itu segera terlupakan karena gadis manis itu terlalu sibuk
dengan segala kegiatan dan pekerjaannya. Dengan menyibukkan diri untuk bekerja,
secara otomatis dia dapat melupakan kenangan buruknya dari cinta segitiga yang
dialaminya sewaktu SMA. Saat itu dia mengalah dan membiarkan sahabatnya yang
mendapatkan orang yang dicintainya. Namun, setelah itu Dewi menyesal. Hal itu
dianggapnya sebagai kesalahan terbesar di dalam hidupnya yang pernah
dilakukannya sampai sekarang.
Bersama Nova yang berbadan subur itu, Dewi berjalan menuju kampus.
Disertai dengan payung berwarna cokelat pula, penampilan gadis semampai itu
nampak terlihat serasi dengan pakaian yang dikenakannya. Sesampainya di kelas,
Dewi segera melipat payung kesayangannya. Dia menaruhnya ke dalam loker untuk dikunci,
seolah-olah dia tidak ingin kehilangan payung itu. Belum ada siapa pun yang
datang. Hanya ada mereka berdua. Terpaksa Dewi terjebak dalam keadaan yang
tidak disenanginya, yaitu menunggu. Tiba-tiba handphone Dewi bergetar tiga kali menandakan ada SMS masuk. Dibukanya handphone itu, ada beberapa kata yang
tersusun menjadi kalimat di dalamnya dari nomer yang tak dikenal. Kalimat itu
berbunyi:
“Kutunggu kamu
di luar.”
“Dari siapa sih..?” tanya Nova
kepada Dewi.
“Nggak tau, nih.. Tiba-tiba aja
seenaknya nyuruh-nyuruh nunggu di luar. Padahal aku paling benci di
suruh-suruh.” Jawab Dewi sedikit sewot.
“Coba sini, mana liat sms-nya kok
jawabannya nggak mengenakkan gitu.”
Kata
Nova sambil mendekati handphone yang
dipegang Dewi.
“Yaelah, buk! Ini mah bukan nyuruh.
Mana kalimat menyuruhnya?! nggak ada gitu, lho. Gitu aja kuq udah sewot.” Kata
Nova lagi.
“Iya, tapi secara tidak langsung,
aku disuruh keluar. Padahal, kamu tahu sendiri kan kalau kita lagi ada jam
kuliah. Ntar kalau dosennya datang waktu aku di luar gimana, hayo?” timpal
Dewi.
“Ya tidak apa-apa, to. Toh kamu jadi tahu siapa yang minta
ditemuin. Emang dasar Miss Perfect
yang paling nggak mau rugi waktu!”
“Berisik, biarin! Salah sendiri
nyuruh-nyuruh keluar di waktu yang tidak tepat.”
Tiba-tiba handphone Dewi bergetar lagi sebanyak tiga kali menandakan ada sms
yang masuk.
“Kutunggu kamu
di luar. Bayu”
“Bruk!” Dewi menjatuhkan handphone-nya. Tangannya lemas
sampai-sampai tidak kuat memegang telepon genggamnya. Dia berusaha kembali
mengambil handphonenya dengan tangan
gemetaran.
“Siapa, Wi? Ada apa?” Tanya Nova
yang begitu terkejut dengan tingkah laku Dewi. Baru kali ini dia melihat
sahabatnya itu panik.
“Bayu. Apa benar dia Bayu? Kenapa
dia bisa tahu aku di sini bukannya dia melanjutkan sekolahnya di luar negeri?”
mulut Dewi menggumam sendiri.
“Apa? Bayu? Siapa sih Bayu kok kamu
nggak pernah cerita?” kata Nova semakin penasaran.
“Oh, Sorry Nov, hehehe! Bayu itu temenku SMA. Aku dulu sempat naksir
sama Dia. Dia juga naksir aku. Tapi aku nggak bisa jadian sama dia. Karena
Riska, teman baikku sewaktu SMA juga naksir dia. Setiap hari Riska selalu
membicarakan Bayu, Bayu dan Bayu. Sampai capek aku dengerinnya. Selain aku sama
Riska, banyak juga sih yang ngefans sama dia, karena udah
ganteng, juara kelas pula. Suatu hari, di Senin pagi yang gerimis kayak gini, Bayu
menyatakan cintanya ke aku. Aku disuruh menjawab dengan pilihan. Jika aku
menerima cintanya, aku harus memilih bunga dan jika aku menolak cintanya aku
harus memilih payung...”
“Jangan katakan kamu memilih payung,
Wi!” Nova memotong pembicaraan Dewi.
“Payung cokelat. Ya, aku memilih
itu. Tadinya aku senang dan hampir memilih mawar. Tapi saat akan mengambil
bunga itu, aku teringat Riska. Aku bisa membayangkan apa yang akan terjadi
dengan Riska jika dia tahu aku jadian dengan orang yang kelihatannya amat dicintainya.
Hatinya mungkin akan terluka. Dan aku nggak tega sahabatku sendiri terluka
karena aku, sahabat baiknya jadian sama orang yang selalu jadi topik
pembicaraanya. Akhirnya aku memilih payung itu, dan mengatakan bahwa Riska
lebih pantas untuknya. Lalu aku pergi meninggalkannya dalam gerimis.” Kata
Dewi.
“Dan itu yang membuat kamu nggak mau
pacaran selama ini, ya kan? Jujur deh kamu tuh masih cinta kan sama Bayu.?” Desak Nova.
“Nggak tau, deh.. aku bingung.”
“Tunggu apalagi ayo temui dia
kesempatan nggak datang dua kali, lho.. kelihatannya dia mau nembak kamu lagi
deh, siapa tahu dia putus karena nggak
cocok sama Riska dan kamulah orang yang benar-benar dicintainya. Ngapain coba
jauh-jauh ke luar negeri ke sini nemuin kamu!”
“Dosennya...?”
“Sudahlah nanti biar aku yang urus.”
Pagi itu, kedatangan gerimis terlihat kerap. Turun perlahan-lahan ke
bumi seperti salju. Terlihat indah dan cantik apabila seseorang mau sedikit
menengadah saat melihatnya. Namun, menyisakan hawa dingin yang cukup mampu membuat tubuh menggigil.
Tampak di depan Dewi seorang pemuda yang tinggi, dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
“Hai..! kau tidak berubah, ya.. tetap ayu dengan penampilanmu.”
“Makasih. Gimana kabarmu dengan Riska?” Tanya Dewi ingin tahu.
“Kau benar Riska anaknya baik dan perhatian sama aku. Aku sedikit-demi
sedikit bisa belajar menyukainya seiring berjalannya waktu.”
“Oh, ya? Ke mana dia sekarang?”
“Dia menungguku di halte. Memintaku datang padamu untuk meminjam
payung. Aku pinjam payungnya, ya hehehehe!”
“GEDUBRAG!!!” Dewi terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangannya
waktu berdiri.
“Kenapa, Wi?” Tanya Bayu
“Nggak apa-apa kok.. cuman hilang
keseimbangan aja. Hehehehehehe! Bentar ya, aku ambilin dulu payungnya.”
Dewi segera mengambil payung
cokelatnya sambil menyalahkan Nova yang
mengira Bayu akan menyatakan cintanya kembali kepada Dewi. Mendengar cerita
yang sebenarnya bahwa Bayu menemui Dewi hanya untuk meminjam payung, pecahlah
tawa Nova.
“Ketawa
melulu!” Bisa diem nggak?”
Sambil
tertawa Nova menjawab, “Habis lucu sih, kirain si Bayu mau nembak kamu eh
ternyata mau pinjam payung!” Merasa sebal dengan tingkah Nova, Dewi segera
bergegas meninggalkan Nova yang sedang tertawa terpingkal-pingkal. Sementara
Nova tidak mengetahui kalau Dewi sudah pergi meninggalkannya karena asyik
menertawakan cerita tadi. Mahasiswa yang lain mulai berdatangan. Mereka menatap
sinis Nova yang sedang tertawa sendiri. “Jangan melakukan kontak mata
denganku!” Kata salah seorang mahasiswa kepada Nova secara tiba-tiba yang
menghentikan tawa Nova. Sadar bahwa dia ternyata tertawa sendiri, gadis tambun
itu segera berlari dari depan loker masuk ke kelas karena malu .
Dewi
sudah berada di depan gedung perkuliahan. Di sana, Bayu sudah menunggu payung
cokelat kesayangan Dewi. Meski payung itu merupakan pengalaman buruk ketika
akan menjalin hubungan dengan pemuda yang dikasihinya, Dewi tetap menyukai
payung itu karena memberikan kenangan tersendiri baginya.
“Ini
payungnya.” kata Dewi
“Oh
iya… Maaf telah merepotkanmu Wi.”
“Katanya
kamu kuliah di Australia, tetapi kenapa kok masih berada di sini?” Tanya Dewi
ingin tahu.
“Kakakku
sebentar lagi akan menikah dan Mama memintaku untuk pulang selama 2 minggu.
Dalam waktu singkat ini, aku juga ingin menemui teman-teman terbaikku termasuk
kamu yang sudah membuat aku dan Riska jadian.” Jawab Bayu sambil menatap Dewi. Jawaban
itu membuat hati Dewi sedih, tapi untunglah Dewi dapat menguasai rasa sedihnya,
hingga tetap nampak tenang di hadapan Bayu.
“Oh,
begitu ya.. semoga kalian langgeng ya.” Kata Dewi dengan nada datar.
“Seandainya
kamu dulu memilih bunga, pasti tidak begini ceritanya.” Kata Bayu dengan nada
datar pula.
“…..”
Keduanya terdiam sejenak.
“Maaf
Dewi, mungkin kamu berpikir betapa lancangnya aku, ke sini meminta bantuanmu
hanya untuk meminjam sebuah payung. Ternyata payung yang kamu berikan padaku
adalah payung cokelat yang pernah kamu gunakan untuk menolakku. Kamu selalu
membawa payung ini ketika hujan kan? Apakah ini berarti kamu menyesal karena
pernah menolakku?”
Dewi
hanya terdiam.
“Aku
tahu kita dulu pernah saling menyukai. Aku tahu kamu menyukaiku karena
seseorang mengatakannya kepadaku.”
“Siapa?”
Tanya Dewi penasaran.
“Riska,
ya Riska… sahabatmu sendiri. Pada liburan semester lalu, Riska ke rumahmu. Kata
ibumu, kamu masih keluar membeli sesuatu, kemudian beliau menawarkan Riska
untuk menunggu di kamarmu. Di kamarmu, tidak sengaja dia membaca buku yang
tergeletak terbuka di meja belajarmu. Dia kaget setelah mengetahui isinya yaitu
tentang isi hatimu terhadapku bahkan sebelum Riska mengenalku, kamu sudah
menyukaiku. Apalagi saat membaca moment
ketika aku menyatakan perasaanku kepadamu. Di sana kamu menuliskan bahwa kamu
mengalah untuk Riska. Dia merasa sangat bersalah kepadamu dan segera berpamitan
kepada ibumu, karena tidak kuasa menahan air matanya. Sekarang dia memintaku ke
sini untuk menemuimu, menukarkan payung ini dengan bunga dariku.
“Apa
maksudmu menukarkan payung ini dengan bunga?”
“Aku
sekali lagi ingin menyatakan perasaanku padamu dengan bunga ini. Apakah kamu
bersedia menerima bunga ini kembali?”
“Bagaimana
dengan Riska?”
“Dia
tidak apa-apa, malahan dia yang memintaku untuk melakukan semua ini.
Dewi
hanya termangu melihat kejadian yang pernah dialaminya terulang kembali. Dia
tidak tahu harus berbuat apa. Apakah dia harus menerima atau menolaknya.
Sebenarnya Dewi juga masih menyukai Bayu, tetapi dia tidak ingin ada hati yang
terluka dalam kisah cintanya. Terutama yang terluka sahabat baiknya sendiri,
Riska. Dalam lamunannya dia melihat sosok sahabatnya itu di halte depan
kampusnya. Nampaknya sosok itu tengah duduk murung, sesekali menengadah seolah
menahan air matanya agar tidak tumpah.
“Sebelum
menjawab pertanyaanmu, bolehkah ku tahu perasaanmu saat ini?”
“Boleh.”
“Selama
ini kamu memiliki hubungan lebih dari teman dengan Riska, setiap waktu tentu
saling berkomunikasi menanyakan kabar, apakah itu tidak mengubah perasaanmu
kepadaku?”
“Tidak. Hal itu tidak mengubah perasaanku
kepadamu, Wi. Perasaanku ke kamu masih sama seperti yang dulu.”
“Benarkah? Apakah kamu tidak ingat bagaimana
sikap Riska ke kamu saat kamu ada masalah? Tidakkah kamu ingat, dia selalu
memberikan saran yang pada akhirnya menjadi solusi dalam masalah-masalahmu?”
“Iya, dia benar-benar anak yang baik. Aku
sebenarnya juga ragu untuk menerima permintaannya ini, tetapi aku juga ingin
memilikimu, Wi…”
Dewi menghela nafas. Dalam hati dia berpikir,
betapa enaknya menjadi laki-laki karena bisa mempunyai pendamping lebih dari satu.
Padahal gadis berambut lurus itu sangat menghargai kesetiaan. Hal ini membuat
Dewi galau. Dia ingin menerima cinta Bayu, tapi masih ada Riska di luar sana
yang sedang bersedih, memikirkan kelanjutan hubungannya dengan Bayu. Apalagi
perasaan Bayu yang sebenarnya ragu untuk menerima permintaan Riska, yakni
menyatakan cinta ke Dewi. Fenomena ini membuat Dewi yakin untuk memutuskan
suatu keputusan yang cukup besar dalam hidupnya.
“Baik, kalau begitu bolehkah aku meminta payung
cokelat itu kembali kepadaku? Ah sekarang masih hujan tunggu dulu sebentar!”
Kata Dewi seraya masuk ke dalam gedung tempatnya kuliah. Tidak mendapati Nova
di ruang loker, gadis ini segera bergegas ke dalam kelas. Di sana dia melihat
Nova dan segera menariknya ke ruang loker.
“Aduh apa-apaan sih nih, tarik-tarik!” emangnya
gue tali, apa ditarik-tarik?”
“Iyee, maaf,, pinjem payung,, ye nanti kuganti
payung yang coraknya yang lebih bagus!” kata Dewi sambil mengambil payung hijau
bergambar keropi seraya bergegas
menuju depan gedung perkuliahan.
“EH, WI… WIII GUE NANTI PULANG BASAH KUYUP
TANPA TU PAYUNG!!!” Teriak Nova kepada Dewi yang semakin menjauh.
“TENANG NANTI KITA SEPAYUNG BERDUA!!!” Pungkas
Dewi kepada Nova semakin menjauh.
Gerimis semakin terlihat kerap, indah sekali
seperti turun salju. Sinar matahari mulai nampak di antara gerimis. Memberi
semangat di pagi itu. Para mahasiswa
berlalu lalang menuju kampus untuk mengikuti perkulihan dengan menggunakan
payung. Yah, itulah fungsi payung, melindungi manusia dari hujan atau bahkan
terik matahari.
“Ini, buat kamu, berikan payung cokelat itu
kepadaku!”
“Jadi kamu kembali menolakku Wi?” Tanya Bayu.
Dewi mengangguk.
“Maafkan aku, aku dapat menerima bungamu
kembali karena ada gadis yang bersedih diantara hubungan kita. Lebih baik aku
mengalah. Ambilah payung ini, untuk melindungi gadis yang sedang menunggumu di
halte.” Kata Dewi sambil menyerahkan payung keropi
Nova.
“Baiklah jika itu maumu Wi…” Bayu sedikit
kecewa. Dia menerima payung dari Dewi dan menukarkannya dengan payung cokelat
penuh kenangan itu. Bayu segera membuka payung pemberian Dewi dan berjalan
menuju halte. Sinar matahari kembali tertutup mendung. Sementara gerimis tetaplah
kerap. Dewi tersenyum melihat gadis itu sepayung berdua dengan Bayu. Akan
tetapi pemandangan itu segera tertutup oleh sebuah mobil yang masuk mendekati
latar gedung perkuliahan. Tidak salah lagi itu mobilnya Pak Bima, dosen killer. Dewi segera masuk kelas untuk
persiapan kuliah. Menggapai cita-citanya.
***
No comments:
Post a Comment