Wednesday, 13 April 2011

Jeritan Hati

Derita Skripsi

            Hai,, namaku Dina... kini aku tengah dalam proyek pengerjaan skripsi.
Jenis skripsiku pengembangan. Aku mengembangkan buku modul membaca cepat.
Dalam mengerjakan skripsi ini, aku mempunyai banyak sekali godaan dan hambatan.
Aku modif skripsi di KRSq pada bulan Juli 2010 lalu. Tetapi sampai tgl 23 Maret 2011 ini aku masih sampai pada proposal,, padahal tgl 29 April 2011 ujian,,,hiks...
Sementara produknya, aku masih mendesain sampulnya. Dan bertemu dosen pembimbing masih sebanyak empat kali. Itupun bertemu dengan Dosen Pembimbing 1 (DP1) dan belum bertemu sama sekali dengan DP 2.. Bayangkan betapa kacaunya perasaanku saat ini. Mau ngerjakan malasnya minta ampun kayak ada yang menahan,,, Hiiiiiiii!!!


Pada semester ganjil lalu aku modif 2 mata kuliah minor, PPL, dan skripsi. Jumlahnya 14sks. Dan yang paling menyita waktu,pikiran, dan tenaga saat itu adalah PPL. Pada akhir PPL harus mengumpulkan RPP lengkap saat mengajar ke guru pamong, Laporan Lesson Study, Manajemen Sekolah, dan Studi Kasus ke sekolah serta fakultas jadi tidak begitu sempat memikirkan skripsi.Karena skripsi belum selesai pada semester itu, pada semester genap aku modif lagi hanya skripsi saja, 6sks. Belum selesai mengerjakan itu bukan karena malas atau apa. Tapi banyak sekali cobaan dan godaan yang datang ketika proses pengerjaan skripsi.

  • Cobaan pertama (1) adalah saat skripsi, saat akhir bulan Nopember, aku pergi ke rumah guru BP mengendarai sepeda montor untuk minta tanda tangan guru BP itu. Aku ke sana menjelang Maghrib. Sampai di sana aku ingin menghubungi temanku via sms, tetapi HPku tidak ada di tas dan saku. Aku hanya berpikir jika HP Sonny Erricson W395i-q tadi ketinggalan di kos-kosan. Beruntung aku bertemu guru BPnya, dan berhasil mendapatkan tanda tangan sesuai dengan yang kuharapkan. Pulangnya di kosan, aku mencari HPq ditempat biasa aku menaruhnya,, ehh ternyata tidak ada. Aku mencari sampai di sudut kosan dibantu dengan teman sekamarku, tetap tidak ada. Dan sejak saat itu, aku kehilangan Hape kesayanganku yang berwarna merah muda. Karena aku jadi tidak nyaman di kosan dan terus menerus Suudzon pada anak kos, temanku menyarankan supaya aku ke orang pinter di Batu. Dan seminggu kemudian aku ke Batu sama temanku itu dengan naik sepeda montor Malang-Batu. Dan posisiku selalu di depan... Haah,, betapa lelahnya waktu itu...sampai di sana aku ketemu orang pinternya. Katanya HPq jatuh saat aku naik sepeda montor ke rumah guru BP. Dan sudah ditemukan oleh pelajar perempuan,, kira-kira masih SMA. Hmmm,,, ya sudahlah,, jadi g suudzon lagi ma anak2 kost.

  • Cobaan kedua (2) skripsi adalah semenjak HPq hilang aku jadi lost contact dengan cowokq. Aku dan cowokku pacaran long distance. Dia di Magelang, sementara aku di Malang. Padahal cuma beda sisipan -ge- saja antara Magelang dan Malang, bisa mengakibatkan jarak jauh. Beda provinsi pula. Beberapa hari kemudian, cowokq sms ke aku (saat itu aq pakai hp cdma yang keypadnya sama sekali tidak enak dan sinyalnya jarang). Dia bilang kalau dia sudah tidak tahan lagi hubungan jarak jauh. Dan karena aku masih cinta sama dia, aku sampai bela-belain datang ke rumahnya yang jauh di sana naik Malabar dari Blitar, turun Stasiun Tugu dan dijemput sama dia sampai ke rumahnya untuk berkenalan dengan keluarganya. Aku di sana tiga hari.. Ibuknya baik sama aku. Mbaknya dan keponakannya juga baik.  Tapi, Aku ceritakan aja, ya waktu aku di sana,, hehe:
          "Tgl 11 Desember 2010, at 00.15 a.m., aku sampai di Stasiun Tugu. Di sana, dia sudah duduk menungguku. Aku sempat ketawa dengan model potongan rambutnya yang plontos. Lucu tau g! tapi aku tetep cinta,, huehe..  Setelah itu, kami ke rumah kakaknya di Bantul naik sepeda montor vario putih-hijau punya Mbaknya. Waktu itu perjalanannya stasiun Tugu-Bantul satu jam-anlah kira-kira. Sampai di rumah Mbaknya, aku berkenalan dan ngobrol-ngobrol dengan Mbaknya, Mbaknya baik dan ramah. Tapi saat bercakap-cakap, suaranya tidak begitu terdengar sehingga aku sering meminta Mbaknya untuk mengulang kata-kata yang diucapkannya (maaf ya Mbak :D) #$%$#@%. Waktu itu jam 01.45 a.m. Karena 07.00 a.m. cowokq harus ngajar di Magelang, kami harus tidur dan bangun 03.30 untuk melanjutkan perjalanan ke Magelang. Sebelumnya aku dikasih tau cowokq kalau sanyo di rumahnya rusak. Jadi setelah bangun aku nunut mandi di sana sekalian, aja cz takut tidak bisa mandi di Magelang. Kan sanyo-nya rusak,,dan jadi bau deh, kalau tidak mandi,,hik hik...

          Pukul 04.00 a.m., kami siap berangkat perjalanan ke Magelang. Setelah berpamitan dengan Mbaknya, kami berangkat. Dalam perjalanan, kami menyusurii jalanan kota Jogjakarta naik Vario. Karena masih pagi dan gelap, jalanan masih sepi waktu itu. Hanya dihiasi lampu-lampu jalanan dengan khas Jogjakarta. Sesekali kami bertemu dengan kendaraan lain. Aku melihat ada air yang mengalir banyak sekali di aspal jalur Jogjakarta-Magelang. Dan tidak salah lagi bahwa itu adalah lahar dingin Merapi yang masih mengalir. Untungnya tidak banjir lahar, waktu itu. Sesampai di kota Magelang, ternyata masih jauh lagi rumahnya. Rumahnya ada di desa Ngablak, di lereng Gunung Merbabu. Saat montor mulai menaiki lereng Merbabu hawanya mulai dingin sekali. Dan aku tidak memakai kaos kaki. Pukul 06.30 a.m., kami sampai di rumahnya. Aku masih ingat betul saat keponakannya yang berumur lima tahun itu membukakan pintu rumah itu dan malu malu kepadaku. Aku diajak masuk oleh dia dan didudukkan di ruang tamu. Karena cuacanya amat sangat dingin sekali (gila!!, baru pertama kali aku di tempat yang sedingin itu!),, aku menggigil kedinginan..!! Saat aku menggigil kedinginan Ibu cowokq datang dan aku berdiri sambil gemetaran karena kedinginan untuk mencium tangannya. Kemudian beliau ke dapur untuk membikinkan aku dan cowokq Energen yang diseduh dengan air panas sementara aku diajak cowokq untuk menghangatkan diri di kompor arang. Katanya namanya gegeni. Dan harus dikipasi supaya apinya keluar.
           Hmm nikmat sekali dingin-dingin minum energen panas sambil gegeni. Apa lagi ditemani kekasih tercinta. Tapi kenikmatan itu tidak berlangsung lama. Waktu sudah menunjukkan pukul 06.50 a.m.  Dan dia harus segera ngajar di sekolah. Dengan cepat dia memakai seragamnya pamitan sama aku dan ibunya, dan pergi ke sekolah. Setelah itu aku dan ibunya ngobrol-ngobrol.. Beliau orangnya lemah lembut, cekatan, baik, dan pengertian. Jam 09.00 a.m. beliau akan ke pasar bersama cucunya. Karena takut di rumah sendirian aku ya ikut. Dalam perjalanan ke pasar, banyak tetangga yang menanyakan siapa aku,,di pasar, aku ingin membelikan keponakan cowokq puding, dan menanyakannya apakah mau puding. Ee malah dikira aku yang pengen  puding,, dan langsung menarik Ibunya cowokq untuk minta dibelikan puding. Sepulang dari pasar aku bantu-bantu beliau memasak, meski dengan pengalaman memasak yang pas-pasan. Setelah matang cowokq datang dan kami makan siang bersama. Dan aku makannya lama sekali sehingga selesai paling akhir, karena emang aku kalau maem tu lama. Setelah makan siang aku diminta cowokq untuk menjaga warnet miliknya bersama ibu dan keponakannya. Karena cowokq akan memperbaiki pompa listrik air di rumahnya. Sebelum ke warnet, aku sempat melihat cowokku saat memperbaiki pompa air. Keren!, nampak macho banget (semakin suka). Setelah itu, aku, ibu mertua, dan keponakan ke warnet buat bantuin jaga.

           Pagi di hari berikutnya, aku bangun pagi-pagi dan merebus air panas untuk mandi, saat itu, calon ibu mertua juga bangun. Dan hendak mencuci. Beliau menawarkan pakaian kotorku untuk dicuci sekalian. Dan aku menolak karena tidak enak hati sambil berkata besok mau pulang. Dan sepertinya beliau kecewa. Sementara itu, cowokq bersiap-siap untuk mengikuti tes CPNS waktu itu. Setelah berpamitan, cowokq berangkat dan ikut tes. Pukul 09.00 a.m. aku ikut ke pasar, saat melihat telur, terbesit di otakq untuk membelikan ibu mertua telur ayam. Aku mengajak keponakan untuk membeli telur. Dia langsung berteriak melaporkan bahwa aku membelikan telur. Kemudian calon ibu mertua bilang gini ke aku, "Lain kali jangan SOK beli-beli lagi lho,ya..!" Dan aku menjawab, "Iya, Bu.." hiks :'-(. Sepulang dari pasar, aku bantu-bantu ibu masak, dan aku bikin dadar jagung. Saat masak aku ditanyain sama ibu mertua pulangnya kapan, terus aku bilang kalau pulang besok malam jam 00.00  dari stasiun tugu. Saat itu ibu terlihat tidak suka. "Kenapa tidak pulang naik bus saja? Kan bus tiap waktu? Anak perempuan, kok pulang malam-malam?." Aku menjawab "Kalau naik bus saya tidak tahu arahnya kalau oper, bu. Nggak papa kok bu.. Saya pulang malam." Ibu terdiam sejenak. Dan berkata kepadaku bahwa, "Kalau pulang malam saya tidak tega sama anak saya yang mengantar. Karena besoknya dia harus mengajar. Almarhum Bapak dulu saja kalau mau mengajar, dan anaknya menangis tetap saya suruh berangkat, kok. Biarpun anaknya rewel seperti apa, tetap saya suruh berangkat. Supaya tidak terlambat mengajar. Dan sepulang Bapak kerja, tidak akan saya biarkan anak-anaknya mengganggu Bapak. Dan Bapak saya minta untuk istirahat karena capek. Apa pulang minggu depan saja setelah anak saya tidak sibuk?" dan aku menjawab "nggak buk, soalnya saya disuruh segera pulang sama ibu saya." Akhirnya aku pesan travel dan pulang naik travel dijemput di Terminal Soekarno Hatta Magelang.
             Setelah itu, aku sampai di rumah. Hubungan saya dan cowok saya berjalan dengan baik. Kami masih sering smsan. Tetapi satu minggu setelah itu, tiba-tiba dia jarang sms, aku bingung dan merasa ada yang janggal. Terbesit di benakku kalau ibu cowokq tidak menyetujui hubungan kami. Ternyata benar, setelah aku kirim video lagu Hot N Cold dari Katty Perry di wallnya beberapa hari kemudian, dia sms bahwa hubungan kami tidak disetujui karena kami jauh. Aku sedih, dan berusaha agar hubungan kami tidak berakhir begitu saja. Tetapi smsnya selalu mengarah minta putus. Akhirnya aku putus asa dan menanyakan "sudah siapkah kita berganti status?" dan dia menjawab: "Masalah FB, terserah cincun saja.". Karena aku benar-benar putus asa waktu itu, aku langsung mengubah status di FB dari bertunangan menjadi lajang. Sebenarnya aku masih cinta sama dia dan tidak menginginkan perpisahan itu terjadi. Tetapi keadaanya aku sedang putus asa dan emosi menguras hatiku,,,(jiahh hampir sama kayak lagunya Vidi Aldiano aja). Semenjak itu hatiku hancur dan tidak ada keinginan untuk mengerjakan skripsi.

Selanjutnya singkat saja ya, cobaannya, cz aku capek ngetik banyak-banyak.
  • Cobaan skripsi ketiga (3) adalah setelah putus, Aku berantem dengan pacar barunya cowokq lewat FB dan sepertinya cowokq juga terlibat membela cewek barunya. Yang ternyata mereka itu udah kenal lama,bahkan pernah pacaran. Dan deket lagi waktu bulan puasa. Padahal waktu itu aku masih PPL dan statusnya dia masih cowokq. Gila, ternyata selama ini dia main belakang. Ya emang sih aku salah semenjak PPL aku jadi jarang menghubungi dia cz aku harus fokus juga sama kuliahku. Tapi jangan main belakang gini!! Hatiku semakin hancur berkeping-keping...
  • Cobaan skripsi keempat (4) adalah temene temenku kuliah menyatakan cintanya padaku pada tgl 30 Januari 2011. Karena latar belakang kami sama-sama tersakiti, dan aku sedang dalam tahap mencoba untuk melupakan mantanku, akhirnya kuterima. Karena dia arema, kami jadi sering ketemu dan sering jalan-jalan. Itu membuatku sedikit tenang tetapi dalam hatiku aku masih mencintai mantanku.
  • Cobaan skripsi kelima (5) adalah tgl 7 Februari 2011 aku kecelakaan setelah mengantar adikq ke stasiun Garum. Waktu itu, kejadiannya masih subuh dan tidak memakai kacamata(karena mataku minus). Aku jatuh bersama montorku menabrak lubang dipinggir jalan. Padahal menurut perasaanku, aku sudah menghindarinya. Motorku jatuh di pinggir jalan sementara aku terpental jatuh tengkurap mencium aspal di tengah jalan.(jika ini film, hanya bisa diperagakan oleh stuntman). Kaca helm BMCq pecah (untung tidak terkena mata). Wajahku rusak. Daguku menghantam aspal keras sekali. Sehingga darah mengucur tanpa henti dari dagu. Gigiku patah dua. Pelipisku juga keluar darah banyak sekali. Waktu itu aku masih cukup lama tengkurap di tengah jalan raya Garum. Untungnya tidak ada kendaraan yang lewat waktu di jalan yang terkenal ramai dengan kendaraan besar tersebut. Sungguh mukjizat. Setelah itu aku ditolong warga dan dilarikan ke UGD terdekat untuk dibersihkan lukaku dan dibawa ke RS Mardi Waluyo untuk dijahit. Aku mendapatkan 4 jahitan di dagu, dan 3 jahitan di pelipis.
  • Cobaan skripsi keenam (6) Cowokq yang sekarang datang ke rumah menengokku dan tetap menyayangiku, walaupun wajahku rusak seperti itu.  Dalam hati aku sangat bersyukur dan lega karena masih ada yang menyayangiku dalam kondisi yang buruk rupa, meski di lubuk hatiku yang paling dalam masih mengharapkan mantanku kembali. :'(
  • Cobaan skripsi ketujuh (7) Aku harus rajin kontrol ke rumah sakit. Luka di kaki belum kering, dan gigiku dicabut, sakiiiit sekaliiiii.
  • Cobaan skripsi kedelapan (8) Keadaanku membaik sehingga dapat kembali ke Malang untuk daftar yudisium. Situasinya aku daftar terlambat empat hari dan sempat dimarahi kasubagnya dan disuruh minta persetujuan PD 1 supaya bisa ikut yudisium. Aku segera ke ruang PD 1 untuk minta persetujuan. Ternyata beliau tidak ada di ruangan. Tiada pilihan lain, aku harus menunggu beliau datang. Aku menunggu lama sekali hingga beliau datang. Setelah menceritakan kejadian yang menimpaku, beliau langsung menulis catatan supaya saya dibantu saat daftar yudisium. Setelah itu aku diperbolehkan yudisium oleh jurusan. Setelah itu aku pulang ke kos dan mendapati suasana kos yang tidak nyaman untuk mengerjakan skripsi sehingga aku harus kos lagi di tempat lain meski kosan yang sebelumnya belum habis tenggangnya.
  • Cobaan skripsi kesembilan (9) Aku berantem hebat sama cowokku yang sekarang hanya karena aku tertidur saat telfon-telfonan.
  • Cobaan skripsi kesepuluh (10) Aku masih adaptasi di lingkungan kos yang baru.
  • Cobaan skripsi kesebelas (11) Modem lemot.
Itulah sebagian cobaan-cobaan skripsi yang kualami untuk mendapatkan gelar Sarjana Strata Satu. Sebenarnya masih banyak cobaan-cobaan lain yang menghiasi dalam pengerjaan skripsi ini. Tetapi saya akan berusaha lulus. Dan harus segera LULUS untuk mengejar cita-citaku juga membanggakan keluarga. aYOo DiNa,, KAMU PASTI BISA!!! SEMANGADDZZZZ!!!!!!!!!!!!!

CERPEN: Jangan Ngambek, Cin!

            Siang itu langit terlihat cerah. Padahal biasanya mendung atau gerimis. Hari yang cerah dan menyenangkan ini dimanfaatkan Cinta untuk memandikan si Nyipnyup, kucing kesayangannya. Sudah sebulan ini si Nyipnyup tidak mandi. Meski dimandikan pakai air hangat-hangat kuku, si Nyipnyup tetap berontak dan membuat Cinta harus benar-benar kuat memeganginya supaya tidak kabur. Apalagi saat pakai sabun. Si Nyipnyup berontak kuat sekali sehingga membuat kewalahan Cinta. Kembali tenang saat si Nyipnyup dibasuh dengan air suam-suam kuku. Bulu berwarna emas dan putih si Nyipnyup nampak halus dan indah saat disirami air. Membuat Cinta terlena akan keindahannya. Cinta sadar bahwa semua makhluk ciptaan Tuhan itu indah dan mempunyai keunikan tersendiri masing-masing. Gadis berambut cepak itu sangat bersyukur dapat melihat segala keindahan ciptaan Tuhan.
Saat Cinta lengah tiba-tiba si Nyipnyup kabur dan terpaksa Cinta mengejarnya ke sana ke mari bahkan sampai naik dan turun tangga. Tiba-tiba dari luar terdengar suara Mama memanggil.
 “Cinta! Cin... di mana kamu,?”
            “DRAP DRAP DRAP!!!! Aku di sini, Ma! Hah hah hah” Jawab Cinta dengan napas terengah-engah.
            “Eh... dari mana saja anak Mama nih, sudah besar kok masih lari-lari?” Tanya Mama heran.
            “Itu, Ma lagi ngejar si Nyipnyup jelek! Masak disiram air malah kabur, padahal masih belepotan sabun.”
            “Emangnya kenapa kok bisa belepotan sabun?”
            “Dimandiin dong, Ma! Kan Nyipnyup sudah sebulan nggak mandi. Mumpung cuaca cerah gini.. E dimandiin malah kabur!”
            “Ya sudah biarkan saja. Nanti kalau lapar dia pasti pulang sendiri.”
            “Tapi, Ma.. Sabunnya...”
“Ini Mama habis beli lauk dan sayur dari kantin kantor. Kamu taruh di mangkuk saji dulu, ya! Setelah itu makan siang. Mama mau angkat nasi di magic com.” Ujar Mama memotong kata-kata Cinta.
            “Beres, Ma!”
            Biasanya Cinta memandikan si Nyipnyup bersama Yuda, kembarannya. Tetapi si Yuda masih sekolah. Cinta pulang duluan karena sekolah Cinta ada rapat dies natalis. Cinta dan Yuda memang sekolah di tempat yang berbeda. Cinta sekolah di SMP Nusa Bangsa, sementara Yuda sekolah di SMP Tunas Harapan. SMP Tunas Harapan merupakan SMP terfavorit di kota tempat mereka tinggal. Dan merupakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).  Untuk masuk ke sekolah itu, harus tes dahulu dan berhasil bagi mereka bersekolah di sana apabila mendapat nilai tes delapan sampai sepuluh. Saat tes, Yuda mendapatkan nilai sepuluh sedangkan Cinta mendapat nilai delapan. Lho kok? Memang nilai Cinta memenuhi syarat untuk masuk di SMP Tunas Harapan. Tetapi jumlah calon siswa yang mendapat nilai sembilan dan sepuluh sudah memenuhi batas jumlah siswa di SMP itu. Akhirnya Cinta masuk di SMP Nusa Bangsa. SMP terfavorit kedua di kotanya setelah SMP Tunas Harapan. Meski demikian, Cinta tidak mau kalah dengan kembarannya yang berhasil masuk di SMP idamannya. Hal ini terbukti setelah pembagian rapor semester satu lalu. Cinta menjadi juara kelas. Sementara Yuda mendapat peringkat tiga di kelasnya. Saat ini keduanya duduk di kelas VII SMP semester dua.
            Makan siang sudah siap di atas meja. Mama membeli macam-macam lauk dan sayur. Kini di meja makan ada cap cay goreng, sayur bening bayam, sayur rebung, tempe goreng tepung, jamur goreng tepung,  tempura alias udang goreng tepung dan sambal tomat. Hmm.. benar-benar menggugah selera untuk makan! Karena hari itu sangat cerah, Cinta jadi ingin minum jus buah untuk minumannya setelah makan siang nanti. Dengan tergesa-gesa dia melihat buah apa saja yang ada di dalam lemari es.
            “Yahh... tinggal belimbing!” Tapi nggak pa pa, deh. Yang penting jus buah!” teriaknya. Dan langsung berlari-lari ke tempat rak dapur untuk mencari pisau dan baskom dan blender. Mama hanya geleng-geleng kepala melihat anak perempuannya yang sangat aktif itu. “Padahal sudah besar. Kenapa masih suka lari-lari, ya?!” Gumamnya.
            Belimbing segar yang sudah dicuci, diiris ujung-ujungnya, dikupas pinggir-pinggirnya, dan potong-potong dimasukkan ke gelas blender. Sesekali Cinta mencicipi buah yang masih dingin tersebut. Saat mengiris buah belimbing, Cinta kembali mengagumi ciptaan Tuhan. “Wah.. seperti bintang! Pantas saja bahasa Inggrisnya Starfruit! Cantik sekali. Segala sesuatu ciptaan Tuhan memang indah.” Katanya dalam hati sambil mengamati tiap bintang yang masuk ke dalam gelas blender. Setelah dirasa cukup, cinta memasukkan gula. Tidak banyak-banyak, karena Cinta tidak suka jika terlalu manis. Setelah memasukkan air dan es batu secukupnya, Cinta memasang gelas blender yang berisi irisan belimbing, gula, es batu dan air diatas mesin blender.
“Tinggal mencolokkan ke listrik, menekan tombol on, menunggu beberapa saat, dan menekan tombol off, jadilah jus belimbing ala Cinta. Papa, Mama, dan Yuda pasti senang minum jus siang-siang begini! hohoho!” Kata cinta sambil membayangkan seluruh keluarga minum jus.
Setelah memasang colokan ke listrik, dengan perasaan berbunga-bunga cinta menekan tombol on, dan “NGIIIINGGGG!” Berputarlah pisau penghancur dalam gelas blender menghancurkan potongan-potongan buah belimbing dan menjadikannya satu dengan gula, air, dan es batu. Cinta senang sekali melihat blendernya bekerja. Sampai jingkrak-jingkrak. Yuda dan Papa yang baru pulang sampai kaget dikejutkan kelakuan Cinta. Tiba-tiba suara mesin blendernyanya berubah.
“NGIIIING NGUINGG NGIINGG CIITT!”
“ Lho lho lho! Kenapa sih?” Kata Cinta sedikit kecewa
Cinta mencoba menekan tombol on/off berulang-ulang. Tetapi tetap tidak bisa. Sampai memeriksa sambungan kabelnya dan menggerakkanya kalau-kalau sambungan listriknya tersendat. Dan tetap tidak mau nyala juga.
“Macet! Wuaa, gimana nih? Mana belimbingnya belum hancur semua! Jus belimbingkuu....!!!” Kata Cinta benar-benar kecewa.
“Wah, rusak, ya blendernya! Gimana sih kamu pakainya Cin!” Yuda tiba tiba muncul.
“Bukan salahku! Blendernya yang salah! Aku pakek sesuai prosedur, kok!” Cinta membela diri.
“Hmm.. Kenapa ya kok jadi macet?” Kata Yuda sambil mengamati susunan blender, memeriksa listriknya, dan melepas gelas blender dari mesinnya. Saat memeriksa blender, terdengar suara teriakan Mama dari meja makan memanggil mereka untuk makan siang.
            Semuanya sudah berkumpul. Cinta duduk di kursi makannya sambil manyun gara-gara tidak jadi minum jus belimbing. Mama mengambilkan Papa nasi. Setelah itu, mengambil nasi untuk piringnya. Kemudian Yuda yang mengambil nasi. Ketika Yuda meletakkan sendok di atas piringnya terdengar dentingan keras sekali. Setelah dentingan itu terdengar suara Nyipnyup mengeong sambil berlarian menuju arah suara untuk minta makan. Sabun yang tadinya masih menempel di badannya sudah hilang, tapi bulunya masih sedikit basah. Nyipnyup mendongakkan kepalanya ke adikku sambil mengeong keras sekali. Sementara Cinta masih sebel karena tidak jadi minum jus.
            “Aduh, pus! Kok kamu tau aja sih kalau ada orang lagi makan! Cin Nyipnyup belum kamu kasih makan ya?” Tanya Yuda.
            Cinta diam saja. Tidak ada respon sama sekali. Karena yang ada di dalam pikirannya hanya tidak bisa minum jus kesukaannya siang ini dan seterusnya karena blendernya rusak.
            “Cin?” Panggil Yuda sekali lagi. Tapi Cinta tetap diam saja.
            “CIN!” Panggil Yuda setengah berteriak karena sebal dicuekin saudara kembarnya. Cinta tetap diam tidak berkata sama sekali sambil mengambil tempura bagiannya. Nyipnyup mengeong semakin keras ketika melihat Cinta berdiri sambil membawa tepung udang dan mengikuti ke mana Cinta berjalan. Saat Cinta menggiring si Nyipnyup keluar dengan tempura, Papa bertanya kepada Mama.
            “Kenapa sih Cinta diam saja dari tadi? Ada masalah apalagi memangnya?”
            “Dia jadi kayak gitu, Mungkin karena blendernya rusak, Pa! Tadi kelihatannya kecewa banget pas blendernya macet. Dia kan suka sekali minum jus. Mungkin juga setelah blendernya rusak dia jadi mikir nggak akan bisa minum jus sepuasnya lagi selamanya.” Kata Yuda menebak-nebak dengan mencoba memahami perasaan Cinta, kembarannya.
            “Iya, tuh Pa! Padahal tadi aku lihat dia girang sekali saat akan bikin jus!” Tambah Mama.
            “Ya coba nanti sepulang dari kantor, Papa perbaiki deh, blendernya. Habis makan siang Papa langsung kembali lagi ke kantor supaya bisa pulang cepat.” Kata Papa.
            Cinta kembali dari memberi makan Nyipnyup dengan tempura bagiannya. Di luar, tampak Nyipnyup sedang asik menyantap tempura.  Semua pintu ditutup supaya Nyipnyup tidak kembali masuk rumah dan mengganggu makan siang mereka. Siang itu Cinta mengambil nasi sedikit sekali kira-kira seukuran satu sendok makan. Dan hanya mengambil lauk sebuah tempe tepung.
            “Cin, makanmu kok sedikit sekali? Nggak pakai sayur, pula! Sudah dibelikan susah payah kok, nggak dimakan! Tegur Mama dengan nada sedikit marah.
            “Lagi diet, Ma!” Kata Cinta dengan mudahnya.
            “Sudah ya, Ma! Cinta kenyang. Mau tidur siang dulu.” Kata Cinta lagi sambil berjalan meninggalkan meja makan dan menaiki lantai dua menuju ke kamarnya.
            “Cinta, Cin! Kamu belum makan siang kok sudah kenyang tu kenyang dari mana?” Mama memanggil-manggil Cinta tetapi Cinta tetap tidak menghiraukan dan tetap menuju kamarnya.
            “CINTA, CIN!” Mama berteriak karena Cinta tidak menghiraukan panggilannya. Dan akan berdiri mengejar Cinta tetapi ditahan oleh Papa.
            ‘Sudah, biarkan saja. Toh nanti kalau lapar dia pasti akan makan.” Kata Papa. Mendengar kata Papa barusan, Mama jadi ingat kata-kata Mama kepada Cinta saat si Nyipnyup kabur dari Cinta ketika dimandikan. Dan Mama pun duduk kembali.
            “Hu! Dasar Tukang Ngambek!” Kata Yuda kepada Cinta.
Selesai makan siang, pintu kembali dibuka oleh Yuda dan si Nyipnyup segera berlari untuk masuk ke dalam rumah sambil mengeong. Papa kembali ke kantor. Mama membereskan meja makan dan bersiap-siap untuk kembali ke kantor. Sementara Cinta masih berdiam diri di kamar. Di kamar, ternyata dia tidak tidur tetapi hanya memainkan Handphone yang dibelikan Mama untuknya sebagai hadiah saat menjadi juara kelas di semester satu lalu.
“Jusku...!” gumam gadis manis itu dalam hati.
Tiba-tiba nada anime Sailormoon pada ponsel Cinta berbunyi keras sekali, menandakan ada telepon. Cinta yang kaget hampir saja melempar handphone miliknya tetapi untung masih bisa dikendalikan sehingga tidak jadi jatuh. Setelah dilihat, ternyata Septi yang memanggilnya. Cinta segera menekan tombol reply untuk menjawabnya.
Hallo!”
Hallooww,  Cinta! Lagi apa? Eh Cin Di rumahku lagi panen mangga, lho. Ke sini yuk! Intan, Novi, Yossy, Agus juga ada lho. Kita pada mau bikin jus mangga. Mau, kan?” Kata Septi kepada Cinta.
MAUUUU!!!” Cinta menyetujui ajakan Septi dengan penuh semangat.
“Kenapa lagi sih, tu anak! Berisik banget!” Gerutu Yuda yang tengah asik mengutak-atik soal-soal matematika dari buku modul bimbelnya di kamar sebelah.
Ya sudah aku tunggu di rumahku, yaw..! sampai ketemu nanti. Bye!” Septi mengakhiri pembicaraanya.
Bye bye!” Jawab Cinta.
Selesai mendapat telepon, Cinta langsung bersiap-siap untuk pergi ke rumah Septi dan bergegas mengambil sepeda di garasi.
“Yud, aku ke rumah Septi dulu!” Kata Cinta kepada Yuda sedikit berteriak.
“Ok! jangan lupa bawa kunci rumah. Aku mau ke warnet!” Jawab Yuda.
Cinta mengayuh sepeda cepat sekali supaya cepat sampai ke rumah Septi. Lima menit kemudian, Cinta sampai di rumah Septi. Ternyata benar! Mangga di halaman Septi berbuah lebat sekali. Jenis mangga manalagi yang terkenal manis menghiasi pohon mangga milik Septi. “Cantik sekali.” Kata Cinta dalam hati.
“CINTAAAA!!!” Suara Septi terdengar ramah sekali menyambut kedatangannya.
“Hai! Mana Teman-teman?” Mereka ada di dalam tuh, lagi ngupas Mangga. Bantuin yuk!” ajak Septi
“Yuk yuk!”
Di dapur mereka membuat jus mangga banyak sekali. Dan minum jus mangga sepuas-puasnya. “Enak ya! Kental dan manis seperti jus di restoran! Hahahaha!” Kata Cinta kepada teman-temannya. Mereka semua tertawa sambil menikmati camilan dan jus mangga bikinan sendiri.
Sepulang dari rumah Septi, Cinta kembali ceria. Dan mau makan, makanan yang dibelikan Mama untuknya tadi siang. Setelah makan Papa pulang dari kantor.  Cinta segera turun tangga untuk mencium tangan Papa dan membawakan tas Papa masuk ke dalam. Papa hanya heran melihat Cinta yang kembali ceria lagi. Padahal tadi siang baru ngambek. Dan biasanya butuh waktu lama untuk membuat Cinta ceria lagi kalau lagi ngambek. “Tapi sudahlah tidak apa-apa, yang penting Cinta tidak ngambek dan mau makan lagi.” Pikir Papa dalam hati.
“Pa, nanti tolong perbaiki blendernya, ya.. biar Cinta bisa minum jus lagi sepuasnya!” Kata Cinta kepada Papa.
“Iya, Cin!” Jawab Papa
“Makasih, Papa!”
“Kembali, Cinta! Jangan ngambek lagi, ya!”
“Iya Papa!”
***

CERKAK JARKAN: Penulis Kawentar

“Dhelengen aku, Reka si penulis sing ora enek tandingane! Penulis kawentar!” Eseme Reka ilang. Bocah wadon kang bentuk sirahe oval sing isih semangat nyawangi posene ning foto sakukuran kartu pos kuwi noleh menyang suara kang ngomentari omongane. Suara abot sing rada serak. Pengira-irane ora salah. Mas Reki, mase sing barep.
            “Heleh, meri to kowe!” spontan Reka bunderne cangkem, nggembungne pipi lan ngambakne mripate pisan. Reki mbales pelototane adhine sing wadon kuwi karo sawangan sing kudu ngguyu. “Ngono wae nesu. Kan pancene sik calon. Kowe durung duwe buku, to?”
            “Awas, ya, lek wani komentar rena-rena maneh, mengko takkandhakne marang Ibu, lho. Ben ora diwenehi sangu!”
            “Walah, jarene penulis hebat. Ngono wae kok laporan menyang Ibuk. Kuwi jenenge ngalem.”
            “Ben! Ayo ngelokne apa maneh? Takjiwit lho engko!”
            “Ampun, Ndara Ayu. Ampun…” Reki nunduk-nundukna sirahe. Jiwitane Reka pancen terkenal lara lan perih ning kulit. Reki sakjane isa mbales… nanging, apa ya pantes? Dheweke kan luwih tuwa wolung tahun. Reka isih SMP, minangka Reki wis kuliah tingkat akhir. Reka pancen wis suwe mendhem kepinginane kang dadi penulis. Penulis cerita sing hebat. Penulis terkenal! Deweke mikir, lek dadi penulis kuwi nyenengne. Akeh kanca, akeh penggemar, akeh sing antri njaluk tandatangan utawa foto bareng. Artis plus, kuwi pemikirane lek dadi penulis. Plus, amarga sakliyane terkenal lan akeh penggemar, penulis kuwi rumangsane sosok sing cerdas lan nduwe wawasan luas.  Reki sering ngelingna, “Dudu kuwi tujuan penulis, Reka.”
            “Banjur apa?”
            “Marai kaapikan, gawe wong liya seneng, numbuhne semangat maca, gek ya ndandani morale bangsa.”
            “Kuwi ya tujuanku, tapi ora takomongne. Apa ya saben niat kudu dibengokne sing banter ben wong sakdonya krungu kabeh?”
            “Hehehe. Ancene Reka...”
            “Apa? Ancene Reka menyang apa?”
            Isuk kuwi cerah lan ceria. Kayak eseme Reka kang mekar kayak kembang mawar abang. “Mas Reki, apa ya jeneng samaran sing paling cocok gae aku?” Reka mlaku nyang ngarep-nyang mburi karo dolanan polpen ning tangan tengene. Sawentara tangan kiwane didhekekne ning mburi, gayane wis kayak guru sing lagi ngawasi murid-muride nggarap ulangan.
            “Jeneng samaran?”
            “Iya, jenenge kudu apik, gampang dieling-eling, duwe makna kang luas lan marketable alias disenengi pasar.”
            Thutuke Reki spontan decak kagum marang adhine. “Wuih.. ngerti teori ngono barang, oleh teko endi?”
            “Ya teka maca. Aku kan penulis hebat, kudu sregep maca.” Reka ngganti cara mlakune. Saiki nggawe gaya guru sing lagi nerangne muride. Polpene nunjuk-nunjuk menyang sirahe Reki.
            “Kan isih calon.”
            Reka nyawang kakange radha mangkel. Lengene mase dijiwit. “Ayo wani ngelokne maneh, takkeki jiwitan maut.” Reki langsung mbengok-mbengok kelaran, masang wajah melas karo nyuwun ampun.
            “Ampuni, Kanda, Adindaku sing taktresnani.”
            “Uwis, ra sah nggombal. Kepriye akhire jeneng samaranku?”
            “Piye lek jeneng mburine nggawe jenenge bapak, dadine Reka Sutardi!”
            “Wegah. Jenenge Bapak ora keren!”
            Sore wis teka.Nalika Reka sing nggawa selembar kertas lingguh ning jejere Reki sing lagi serius maca majalah olah raga.
            Mas, iki lho, biodata sing jik tas tak gawe. Diwaca, ya terus dikeritikisi.”
            Apa kuwi dikeritikisi? Dikritik, ta? Iki biodata ngge apa? Kok prestasi menang nggambar nalika TK ditulis barang?”
            Yo wis sembarang jenenge apa. Ya biodata kanggo bukuku, Mas. Piye, ta?
            Keninge Reki mlengkeret. “Po ra yo prestasi menulis wae sing perlu dicantumne?”
             Ora apa-apa to, malah luwih apik, ben sing maca isa luwih cedhak karo aku.”
            “O, ngono, ya.” Reki milih ngalah lan nerusne maca biodatane Reka.
            “Sik tas oleh pirang kalimat, ndelalah Reka kelingan sesuatu. “Eh, lha terus tulisanmu wis dimuat pirang media ta, kok wis arepe digawe buku?”
            Eng.. Durung blas.”
            Reki ya kaget krungu jawaban teko adhine. Tapi ana pemikiran liya muncul teka uteg-e. Paling Reka cuma durung mujur. “Padahal sampeyan wis nulis akeh, ya? Sampeyan wis oleh pirang cerpen? Puisi? Utawa novel? Gelem gak lek mas ngewangi nggolekake penerbit? Njajal gawanen mrene tulisan-tulisanmu Mas Reki pingin mirsani.”
            Reka njawab lirih, katon isin-isin. “Aku kan durung nulis blas.”
            “Haaa!!!” Saiki kekagetane Reki teko puncake. Reki melongo sakombo-ombone. “Dadi, sing wingi-wingi rame gawe foto close up, karo gawe jeneng samaran, nganggo biodata ki gawe apa?”
            Reka merengut. “Kanggo persiapan, no. Nek ndelalah Reka duwe buku lan durung duwe foto, jeneng samaran karo biodata sing akeh, penggemar Reka isa kabur lan ora tertarik maneh. Terus nek sekali nulis langsung menang lomba terus diwawancarai karo akeh wartawan… piye jal?”
            Reki spontan nepuk bathuke karo geleg-gelengne sirahe. Reki bingung dhewe. Proses kanggo dadi penulis, sakngertine Reki kuwi kudu akeh maca, nulis, lan ngirim ning berbagai media, liyane kuwi terus melu lomba-lomba penulisan. Lha Reka?  Sakjane saksuwene iki Reka maca buku panduan sing endi?
            Masiya karo lemes lan semangat mendukung, Reka sing wis angop banget, Reki isih sempat ngekeki wejangan. “Kanggo dadi penulis, sampeyan kudu nulis sing akeh, nduk.”
            “Beres, Mas. Kuwi pancene wajib! Mengko ya takgarap tulisanku.”

Jarkan saka Penulis Terkenal, anggitane Jazimah al Muhyi

Sunday, 10 April 2011

CERPEN: Kereta

Kali ini gerbong kereta ekonomi Penataran dari Malang ke Blitar ramai dan sangat penuh desak. Meskipun di dalam gerbong sudah penuh dengan penumpang, masih banyak penumpang yang masih di luar ingin masuk secara paksa. Hingga suasana di dalam gerbong makin sesak.
Saat itu, aku hanya menunggu terlebih dahulu supaya keadaan gerbong itu sepi. Heran. Padahal aku selalu ikut berjubel diantara kerumunan penumpang agar dapat segera memasuki gerbong. Berjubel dengan penumpang lain dan tidak mau kalah. Tetapi kali ini aku mengalah. Menunggu penumpang-penumpang yang berdesakan itu masuk terlebih dahulu di tempat duduk yang disediakan. Dari sana, aku melihat seorang nenek berjilbab hijau akan menaiki kereta itu. Sangat kasihan sekali karena dia harus berjuang diantara penumpang-penumpang lain yang hendak masuk ke dalam gerbong. Barang bawaanya pun banyak. Tiba-tiba timbul rasa iba dari diriku. Terbesit di otakku untuk menolongnya. Aku beranjak dari tempat dudukku dan bejalan mendekati nenek tua itu.
“Nek, nenek mau ke mana?” tanyaku kepada nenek itu.
“Mau ke Surabaya, nak... ramai sekali, ya kereta hari ini...” kata Nenek itu. katanya saat menjawab pertanyaanku.
“Ke Surabaya? Bukannya Surabaya keretanya dari arah Barat ke Timur? Ini kereta ke Blitar, Nek.. Meski tujuan akhirnya juga Surabaya, tapi terlalu jauh kan kalau lewat sana. Lebih baik, nenek ke Surabaya naik kereta Penataran saja yang ke arah timur sana, loh Nek..” Kataku kepada Nenek itu sembari menunjuk ke arah timur.
“Begitu, ya nak.. lha terus ini bagaimana?’
“Apanya yang ini, Nek?”
“Apa ini namanya, Nenek lupa.” kata Nenek sambil menunjukkan kertas tebal berwarna hijau, berbentuk kotak kecil, dengan ukuran 3 X 2 cm bertuliskan malang-blitar-kertosono.
“Oh, Tiket, ya!” ucapku dengan nada sedikit menebak.
“Iya, nak...”
“Baiklah Nek, kalau begitu tunggu saya di sini, ya.. saya mau menukarkan tiket Nenek dulu dengan tiket kereta Penataran yang ke Surabaya.”
“Iya, nak terima kasih...”
Aku segera pergi ke loket untuk menukarkan tiket nenek itu. Waktu sampai ke loket, kulihat loket kereta yang ke Surabaya antri panjang sekali. Kebanyakan adalah mahasiswa yang pulang kampung.  Penumpang kali ini memang benar-benar banyak karena besok adalah hari besar 10 Dzulhijah. Hari besar itu tepat di hari sebelum hari bebas kuliah. Jadi, hari liburnya berhimpitan dan merupakan hari libur terpanjang di bulan ini.
Cepat-cepat aku antri di urutan belakang, berdesak-desakan dengan calon penumpang lain. Penuh sesak. Ketika aku sedang antri di urutan tengah, aku teringat bahwa aku telah melupakan sesuatu. Aku berusaha mengingatnya sekuat tenaga. Dan baru mengingatnya setelah suara bel kereta Penataran jurusan Blitar berbunyi, menandakan akan berangkat. Aku baru ingat bahwa aku sedang menunggu jalan masuk ke dalam gerbong kereta Penataran jurusan Blitar benar-benar sepi.
“Sial!!” kataku dalam hati karena waktu dan tiketku jadi terbuang percuma.
Setelah membeli tiket untuk Nenek itu, aku menukarkan tiket Penataranku dengan tiket kereta Mataremaja.Kereta ekonomi Malang-Jakarta yang berakhir di Stasiun Pasar Senen Jakarta. Cukup jauh perbedaan harga kereta api Penataran dengan kereta api Mataremaja sehingga aku harus merogoh kocek lebih dalam. Tapi tidak mengapa. Mataremaja melewati Blitar. Jadi waktuku tidak terbuang terlalu banyak di stasiun. Sekarang, pukul 13.45, sementara kereta Mataremaja berangkat pukul 15.00. Sepertinya akan telihat cukup lama jika aku menunggu di stasiun. Dan ini benar-benar mimpi buruk untukku.
Saat aku kembali, peron masih tetap terlihat ramai. Bola mataku berputar mencari kerudung hijau, kerudung yang dipakai nenek yang kubelikan tiket. Dari arah belakang, aku menemukan Nenek berkerudung hijau itu sedang duduk dan segera menuju ke sana.
“Maaf, nek.. Menunggu lama.” Kataku kepada Nenek berkerudung hijau itu.
Ketika menoleh ternyata dia bukan Nenek. Tapi seorang mahasiswa yang akan pulang kampung, sama sepertiku. Aku salah sangka, karena dia memakai kerudung hijau yang sama persis dengan kerudung nenek..
“Maaf, Mbak.. salah orang.” Kataku kepadanya.
“Iya, nggak pa pa, Mbak.” Jawabnya sambil senyam senyum.
Bola mataku kembali berkelana mencari di mana nenek itu berada. Dan aku berhasil menemukan Nenek berkerudung hijau itu sedang berdiri di depan toilet nun jauh di ujung sana. Aku segera pergi menuju Nenek itu berdiri. Setelah dekat dan kupastikan bahwa dia benar-benar Nenek, aku pun mendekatinya untuk memberikan tiket nenek yang telah kutukarkan tadi.
“Maaf Nek, menunggu lama.” Kataku kepada Nenek itu.
“Oh tidak apa-apa, Nak..” kata nenek itu kepadaku.
“Ini nek, tiketnya... nanti keretanya berangkat jam 2, 10 menit lagi, nek.. tapi sepertinya keretanya terlambat, deh Nek..!”
“Iya, nak terima kasih..”
“Ngomong-ngomong, Nenek ke sini sendirian, ya.. keluarga nenek dimana kok tidak mengantarkan???”
Tiba-tiba nenek itu terlihat bersedih dan mengatakan sesuatu padaku, “Nenek tidak punya keluarga, nak...”
“Ah, tidak mungkinlah, masak sih Nenek tidak punya keluarga?” Kataku setengah tidak percaya.
Nenek itu terdiam beberapa saat, sambil menitikkan air mata. Aku bingung harus berbuat apa, tidak ingin disalahkan karena telah membuat nenek-nenek menangis, huhuhu.
“Sebenarnya nenek kabur dari rumah anak nenek, nak...”
“Hah, KABUR?!” kataku agak sedikit keras sementara nenek itu menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya menandakan meminta jangan keras-keras berkata ‘kabur’.
“Mengapa bisa begitu, Nek... kenapa kabur dari rumah anak Nenek?” tanyaku lagi kepada nenek setengah menginterogasi.
“Nenek sudah tidak dibutuhkan lagi di sana, Nak... nenek sudah tidak dianggap lagi sama anak, menantu, dan juga cucu nenek...” Jawab nenek itu tadi sembari mengusap air matanya dengan sapu tangan biru.
“Oh, Nenek yang sabar ya.. semua orang pasti mengalami cobaan kok. Saya yakin mereka itu sebenarnya masih sayang bahkan sangat menyayangi nenek..” Kataku setengah menghibur nenek sambil mengelus pundaknya.
“Iya, terima kasih nak.. telah membuat nenek sedikit merasa tenang.”
“Terus nenek mau pergi ke mana?”
“Nenek mau pergi ke rumah saudara nenek di Surabaya, nak.”
Tiba-tiba petugas kereta api mengumumkan bahwa kereta api jurusan Surabaya akan segera tiba. Aku membantu Nenek itu berdiri untuk bersiap-siap masuk ke gerbong kereta. Suara bel kereta terdengar dari arah kejauhan, dari sana juga terlihat cahaya lampu menandakan kereta itu segera sampai.
Petugas-petugas kereta api dengan peluitnya, menertibkan para calon penumpang untuk berdiri di belakang garis putih, supaya tidak terjadi hal-hal yang tida diinginkan. Kereta datang dengan kecepatan yang agak lambat namun masih menyisakan angin cukup kencang di setiap lajunya melewati diriku dan Nenek. Setelah kereta berhenti, aku membantu nenek naik ke dalam gerbong. Ketika Nenek akan naik ke dalam gerbong, dari arah kejauhan, terdengar ada suara laki-laki berteriak memanggil ‘Ibu’. Aku dan Nenek menoleh ke arah laki-laki itu. Nenek yang mengetahui anaknya menyusul, cepat-cepat masuk ke dalam kereta. Karena laki-laki itu adalah anak Nenek.
“Nek, kenapa tergesa-gesa?” Tanyaku kepada Nenek.
“Sudahlah, nak, tolong bantu nenek bawakan tas nenek sampai ke dalam saja.” Kata nenek itu kepadaku.
“Iya, Nek!”
Suara laki-laki itu makin keras memanggil-manggil ‘ibu’ sambil mencari seseorang di setiap kaca jendela kereta Penataran yang akan berangkat menuju Surabaya itu di gerbong ujung belakang sana. Nenek sudah di dalam kereta gerbong depan. Barang-barangnya di dalam kereta semua. Bel kereta berbunyi menandakan kereta akan berangkat. Kereta pun bergerak berangkat menuju ke Surabaya. Saat kereta mulai berangkat, kulihat bayangan nenek dari luar jendela melambaikan tangannya padaku. Aku juga melambaikan tangan kepadanya.
Saat aku melambaikan tangan, aku kaget, laki-laki yang mencari-cari ibunya tadi sudah ada disampingku dan bertanya kepadaku. Ternyata dari tadi laki-laki itu, bertanya-tanya setiap orang yang ada di stasiun mencari keberadaan ibunya, dan sekarang giliranku yang ditanya.
“Permisi Mbak, apakah Mbak melihat seorang Nenek berusia sekitar 60 tahunan, memakai kerudung hijau dan bawaannya banyak?” Tanyanya kepadaku sambil menunjukkan foto orang yang dicarinya.
Mataku terbelalak melihat nenek yang ada di foto itu yang ternyata adalah nenek berkerudung hijau yang baru saja melambaikan tangan kepadaku.
“Iya, Pak.. Saya melihatnya. Nenek itu baru saja naik kereta yang baru berangkat ini tadi ke Surabaya.” Kataku
“Oh, tidak!! Aku terlambat.. Ibu maafkan aku yang tidak mempedulikanmu. Selama ini aku hanya sibuk dengan urusan kantor, tidak sempat memperhatikanmu. Maafkan aku, ibu...” katanya dengan penuh penyesalan.
“Tenang, Pak.. Ibunya Bapak pergi ke Surabaya ke rumah saudaranya, kalau mau Bapak bisa menyusulnya, Bapak tentu mengetahui siapa saudara, Nenek dan di mana alamat saudara Nenek, kan??” kataku kepada Bapak itu.
“Oh iya. Iya, saya mengetahui saudara Ibu saya di sana. Baik, saya akan menyusulnya ke sana sekarang juga. Terima kasih, Mbak.”
Laki-laki itu pergi meninggalkan stasiun untuk segera menyusul ibunya. Stasiun kembali ramai oleh penumpang Mataremaja setelah keberangkatan kereta Penataran yang akan ke Surabaya tadi. Sekarang pukul 14.30. Kereta Mataremaja sudah dipindah di jalur satu. Aku segera naik ke dalam gerbong kereta Mataremaja. Tidak berdesakan. dan segera duduk menunggu kereta berangkat.
***